spiritual books religi
 

Harga : Rp.150.000,-

Karya : Ibnu Athaillah al-Sakandari

 (5 buku: Tutur Penerang Hati, Zikir Penentram Hati, Misteri Berserah Kepada Allah, Rahasia Kecerdasan Tauhid, Kasidah Cinta dan Amalan Wali Allah)

… mengalir dari tangan ulama-psikolog-klasik multidisipliner, baris demi baris dalam edisi lengkap karya Ibnu ‘Athaillah ini mampu mengguncang pikiran dan menggelitik kesadaran pembacanya—singkat-memikat, sarat analogi, dan  penuh tips senam jiwa yang menyehatkan.

Inilah edisi lengkap karya Ibnu Athaillah yang telah mengubah kehidupan jutaan muslim di dunia dari masa ke masa. Orang menyebutnya “buku yang tak kunjung tamat” karena tak puas dibaca sekali dan terus saja menginspirasi pembacanya. Nasihat-nasihatnya menyentuh dan menggelitik kesadaran. Nutrisi ruhani yang disuguhkannya tak cuma padat tapi juga sarat analogi sehingga pembaca bisa segera terbangun dari ketidaksadaran tanpa dibayangi rasa bosan.

Ada yang berbeda dalam tasawuf Ibnu ‘Athaillah. Sementara banyak ulama menekankan arti penting mujahadah sebagai kunci sukses mendaki jalan menuju Allah, syekh kita ini memberi tekanan pada apa yang disebutnya isqâth al-tadbîr—berserah pada pengaturan Allah.  Ajaran isqâth al-tadbîr sebetulnya mengajarkan kecerdasan emosional-spiritual. Pada praktiknya, ia setidaknya akan membuahkan beberapa sikap hati: tidak risau akan sarana-sarana penghidupan, tidak bergantung pada amal atau usaha, rida pada kenyataan, dan punya optimisme hidup.

Dengan bersandar kepada Allah, dan percaya bahwa Dia selalu memberikan yang terbaik, kita melipatgandakan rasa optimis kita—terlepas dari betapa buruk hal-hal yang menimpa kita di mata orang. Dengan tak pernah lalai bahwa Allah Maha Menolong dan Mahakuasa, dengan tak pernah kehilangan rasa butuh kepada-Nya, kita menjadi terbebas dari penjara keterbatasan, dan merasa lapang sekalipun dikepung oleh berbagai ketidakmungkinan—serasa menjadi pemenang-dalam-hidup selamanya.

 Ibnu Athaillah al-Sakandari (w. 709 H/1350 M) dikenal sebagai sufi, muhadis, dan  fakih.  Ia juga tokoh ketiga dalam tarekat al-Syâdziliyyah. Penguasaannya akan hadis dan fikih membuat ajaran-ajaran spiritualnya memiliki landasan nash dan akar syariat yang kuat. Menulis lebih dari dua puluh karya, namanya demikian masyhur lewat karya kondangnya, Al-Hikam.

 

Melihat pulau Jawa dari berbagai sisi memang unik dan menggelitik. Namun di balik keunikannya yang menggelitik tersebut terbentang berbagai hasanah yang akrab dengan sendi-sendi kemanusiaan. Di mana garis-garis humanis masih bersanding erat dengan masyarakatnya. Jika dirunut, humanisme Jawa ternyata tidak lepas dari daya kreatif serta kegeniusan para leluhurnya. Semisal Sunan Kalijaga, yang mempunyai kemasan tersendiri dalam rangka menyampaikan ajarannya. Yakni dengan menggunakan media kesenian yang populer di masyarakat Jawa, seperti gamelan, gending, wayang, dsb. Tidak jauh geniusnya dengan Ki Ageng Suryomentaram, putra ke-55 dari 79 keturunan Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Kegeniusan beliau tercermin dari pengejewantahannya tentang jiwa. Jiwa yang dalam literatur tasawuf dan psikologi umum terlihat begitu rumit serta jlimet, oleh Ki Ageng disederhanakan hanya sebatas rasa. Karena rasalah daya yang mendorong semua makhluk untuk beraktivitas.

Kecerdasan beliau akan lebih nampak jika disandingkan dengan Mulla Shadra, yang mendefinisikan jiwa sebagai substansi yang zatnya non materi, tetapi sangat terikat dengan materi dalam aktivitasnya. Begitu juga dengan pengklarifikasian jiwa. Jika Mulla Shadra dan Ibnu Sina menyebut gradasi jiwa dengan jiwa tumbuhan, jiwa hewan, baru jiwa manusia, maka Ki Ageng menyederhanakannya dengan rasa dangkal, rasa dalam serta rasa sangat dalam.

Ketiga level rasa di atas menurut Ki Ageng dapat dipelajari lewat tiga perangkat inheren dalam diri setiap manusia. Pertama adalah panca indera. Kedua melalui rasa hati, yakni rasa yang dapat merasa aku, merasa senang, merasa ada dan sebagainya. Sedang yang ketiga dapat dipelajari lewat pengertian atau pemahaman. Perangkat terakhir ini berfungsi untuk menentukan suatu hal yang berasal dari panca indera dan perasaan.

Oleh Ki Ageng, mempelajari rasa dalam diri sendiri atau pangawikan pribadi sama halnya dengan mempelajari manusia dengan kemanusiaan. Karena bagaimana pun yang mempelajari adalah bagian dari makhluk yang bernama manusia. Maka jika berhasil mempelajari diri sendiri dengan tepat, secara otomatis juga berhasil mempelajari manusia pada umumnya. Dengan demikian, alangkah eloknya jika pembelajaran pangawikan pribadi dipelajari dari sekarang, disini serta penuh keberanian menghadapai segalanya apa adanya.

Gradasi rasa Keberadaan kondisi yang bercorak hitam-putih terkadang memang masih membelenggu jiwa manusia. Hal itu disebabkan manusia kurang menyadari keberadaan alam, yang oleh Ki Ageng dibedakan menjadi empat gradasi. Pertama dimensi tunggal. Dimensi yang berupa garis ini sebagai analogi untuk bayi, yang kemampuannya baru sebatas merekam berbagai rangsangan dari luar dengan panca inderanya. Oleh Mulla Shadra, tingkatan pertama ini disebut dengan jiwa tumbuhan.

Seseorang dapat dikatakan memasuki gradasi kedua jika telah mampu mengorganisasikan atau membentuk tipologi dari berbagai jenis rekaman di dalam ruang rasa. Dengan kata lain, manusia pada tingkatan kedua ini mulai sedikit sadar untuk mengekspresikan rangsangan-rangsangan dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri. Namun dalam bertindak tersebut tidak berdasarkan akal dan hati, sehingga akibat reaksinya dalam menghadapi rangsangan sering melenceng. Tingkatan kedua ini disebut sebagai benda dua dimensi atau jiwa bianatang.

Ketiga, manusia 3 dimensi. Dalam fase ini, manusia sudah mampu memberdayakan akalnya untuk berfikir, sehingga dapat memahami hukum-hukum alam. Namun tidak dengan hatinya. Dengan demikian, manusia yang bertempat pada level ketiga ini hidupnya didominasi oleh ego, atau yang oleh Ki Ageng diistilahkan dengan kramadangsa.

Kramadangsa merupakan abdi dari berbagai tipologi rekaman yang minta diistimewakan. Karena masing-masing rekaman yang tersimpan sejak lahir mulai saling menyikut agar dapat posisi tertinggi diantra rekaman yang lain. Artinya, hidup pada ukuran ketiga adalah ketika hidup hanya diabdikan pada semua rekaman dan berbagai kebijakan pikiran yang mengorganisasikanya dalam ruang rasa.

Keempat, manusia empat dimensi. Yakni manusia yang tidak hanya memiliki ukuran panjang, lebar serta tinggi dalam dimensi ruang dan waktu. Namun manusia pada tingkatan terakhir ini juga memiliki rasa yang dapat melintasi ruang dan waktu. Karena selain kemampuan analisisnya telah sampai pada hukum alam, manusia ini juga memiliki kebijaksanaan yang bersumber dari rasa. Rasa inilah yang oleh Ki Ageng disebut sebagai rasa yang dapat berkembang, yakni rasa yang tidak mungkin dapat dirasakan hewan, apalagi tumbuhan.

Pertarungan dan pembebasan Dalam buku ini juga terdapat bagan yang mengatakan bahwa, krenteg (gerak hati) yang lahir dari dalam diri serta berasal dari rekaman ruang rasa memiliki dua potensi. Pertama, manusia akan kembali pada level ketiga, yakni hidup dalam kendali kramadangsa. Semisal marah. Jika dalam keadaan marah justru memikirkan bagaimana cara melampiaskan marah, maka kembalilah manusi pada posisi ketiga.

Namun sebaliknya, jika dalam keadaan marah yang terpikir adalah apa itu Marah, bagaimana karakter dan apa tujuannya, maka manusia menuju ke tigkatan tertinggi. Gradasi tertinggi ini adalah manusia yang telah terbebas dari dominasi egonya sendiri dalam bertindak. Ukuran terakhir ini oleh Ki Ageng disebut sebagai instrument dalam diri, yang berfungsi khusus untuk memotret diri orang lain.

Keberhasilan seseorang dalam meraih puncak rasa merupakan suatu keistimewaan tersendiri. Karena jika bersinggungan dengan realitas (masyarakat), manusia tanpa cirri akan selalu merasa damai sebab tidak harus berselisih. Manusia tanpa ciri adalah manusia bumi yang mampu membumi.

Judul Buku: Makrifat Jawa untuk Semua
Penulis: Abdurrahman el-’Ashiy
Penerbit: Serambi
Cetakan: I, Agustus 2011
Tebal: 310 halaman
Peresensi: Eko Sulistiyo ZA, presiden pada Association of Saber Unfold Fak. Ushuluddin UIN Suka, Yogyakarta.

Sumber : Madrowi.wordpress.com


spiritual books religi