spiritual books religi
 
Picture
Mengapa kebanyakan kita melupakan pertanyaan "mengapa" yang kita kemukakan sewaktu kecil? Dari manakah angin bertiup? Dari manakah keelokan, keserasian dan keanggunan sekumtum bunga? Di bagian manakah dari cabang kayu yang kasar atau akar-akar yang terjalin-dalam tersimpan bunga yang warna-warni, halus, elok, dan harum semerbak? Dan dua pertanyaan yang tak pernah ditanyakan kita lagi: di manakah Tuhan? Apakah tujuan penciptaan ini?


Orang yang mudah mendapatkan segala sesuatu masih tetap tak peduli. Sementara yang paling ngotot dan paling sering bertanya selalu saja pikiran yang paling intuitif (berdasarkan intuisi), karena pikiran demikian tak pernah kehilangan rasa ingin tahu. Orang yang selalu bertanya tak menerima apapun dengan begitu saja (taken for granted). Pikiran mereka tidak membatu dan statis. Mari kita perluas perspektif kita dan membuka pikiran kita: mari kita lihat meditasi dengan  mata seorang bocah.

Mari kita bersikap ilimiah dalam pendekatan kita. Seorang ilmuwan menganalisis dengan observasi dan eksperimentasi. Idealnya sains bertujuan dan mencari kebenaran, dan tidak menilai apa pun kecuali dengan bukti obyektif dan verifikasi. Disisi lain, opini menawarkan diri untuk diterima atau ditolak dan sama sekali tidak menjanjikan bukti, kebenaran dan kepastian. Karena itu, opini dan kesan pribadi tidak bisa dipercaya (reliable). Bahkan opini yang paling rasional  sekalipun barangkali  hanyalah  sekadar langkah pertama menuju realitas yang pasti. Karena itu, para lmuwan tidak menduga, mengasumsikan, membayangkan ataupun memfilsafatkan; klaim-klaim mereka didukung dan disokong oleh uji coba, eksperimentasi, dan bukti-bukti empiris yang diperoleh di laboratorium.

Dalam penyelidikan kita, marilah kita gabungkan pikiran-pikiran terbuka anak kecil dan pikiran-pikiran ilmuwan yang terus mencari-cari. Jelas hasil penelitian ilmiah bersifat kokoh dan terpercaya karena didasarkan pada observasi dan praktik. Apa pun selain metode praktik yang digambarkan diatas, tak dapat diterima secara ilmiah. Begitu pula agama harus dipahami dengan investigasi dan bukti empiris,..... bukan dengan keimanan buta. Bagi pikiran yang tak didukung bukti dan tak ilmiah, dunia agama bisa tampak seperti  menjadi sebuah wilayah opini semata dan bahkan cerita palsu. Agama mengklaim bahwa 
"melihat adalah percaya"; sebagaimana Hafiz-pujangga sufi terkemuka  pernah berkata,

Karena Kebenaran tak tertangkap Maka yang tampak paling baik adalah membayang-bayangkan

Agama hendaknya merupakan pengejaran akan Kebenaran yang mengantarkan kepada pengalaman langsung tentang Kebenaran itu sendiri, bukan tentang sesuatu yang dihasilkan opini dan cerita pribadi. Cerita demikian adalah rekaan dan khayalan sendiri, bisa terus berubah-ubah seperti halnya cerita pribadi lainnya. Tuhan yang aku reka di dalam hati bukan tuhan sebenarnya, melainkan rekaan aku sendiri. Dalam bahasa sains, ini disebut 
hipotesis. Padahal, agama harus diketahui atas dasar pengalaman individu tentang Kebenaran dan realitas. Seseorang bahkan mungkin akan bertanya-tanya, benarkah ada banyak perbedaan antara orang yang menerima agama dengan kepercayaan buta dan orang yang menolaknya. Kebodohan adalah penyebab kedua kasus itu, karena yang satu menolak agama tanpa tahu, yang lainnya pun menerima agama tanpa tahu dan buta, sebuta "keimanan buta".

Agama telah disamakan dengan sistem kepercayaan, dogma, ritual, bentuk-bentuk praktik dan struktur organisasi. Agama berasal dari sebuah kata yang berarti "mengikat bersama". Karena itu, agama adalah dorongan batin yang mendorong seseorang untuk mengikat segala sesuatunya dalam sebuah perspektif-menyeluruh yang padu. Tapi betapa kata itu sama sekali tidak dipraktikkan dalam kenyataan. Semua agama sekarang lebih kerdil dari tradisi. Agama menjadi sekadar gabungan dari beragam seremoni keagamaan popular yang bukan menggambarkan Kebenaran, melaikan sekumpulan mitos, cerita, dan simbol-simbol. Agama yang dipraktikkan seperti ini tidak akan mengantarkan kepada keimanan sejati, melainkan lebih kepada kepercayaan yang dibuat-buat. Agama sangat jarang diteliti secara jernih dan ilmiah.

Sekalipun alat-alat fisik tidak bisa mengukur hal-hal metafisik, tapi harus ada sebuah cara investigasi yang akan membawa kita pada keimnan, kepastian dan bukti nyata. Para sufi menunjukkan bahwa penjelajahan yang hati-hati dan ekperimentasi membawa kepada Kebenaran, dan bahwa kita harus belajar melampaui kata-kata untuk menemukan realitas di balik seremoni sekarang yang hampa dan simbol-simbol agama. Karena "kata tidak menyampaikan makna", tapi hanya penanda-penanda yang mencerminkan berbagai gagasan. Pemahaman kita atas kata-kata didasarkan pada pengalaman; tanpa pengalaman itu, kata-kata hanyalah kata-kata, bukan makna.

Perkembangan jiwa, tujuan agama, tak bisa dicapai dengan pengulangan simbol-simbol abstrak, seperti kata-kata. Yesus berkata,

         
 Ketuklah dan pintu pun akan terbuka (Matius 7: 7)

Pernahkah kita bertanya pintu  manakah yang kita bicarakan? Bagaimana kita menemukan pintu atau gerbang itu? Dan bagaimana semestinya kita mengetuk?

Melalui meditasi, penjelajahan diri terjadi. Semua nabi mendakwahkan penjelajahan diri ini. Pesan ini abadi dan tidak hanya dimiliki tradisi, sekte atau agama tertentu, melainkan meliputi itu semua. Semakin memahami pesan itu, kita akan semakin menyadari perbedaan antara meditasi yang dipraktikkan di Barat dan meditasi yang dipahami dan dipraktikkan di Timur. Tapi perbedaan yang kita lihat ini adalah produk dari perbedaan kultur, tradisi dan filsafat yang berkembang di daerah yang berbeda, baik secara geografis maupun historis.

Sumber: Buku Ada Nabi Dalam Diri (Soraya Susan Behbehani)



spiritual books religi