spiritual books religi
 
Seorang ayah menyuruh keempat anaknya melihat pohon pir di dalam hutan pada empat musim yang berbeda. “Pohon pir itu pohon jelek, tidak berdaun, kering dan bengkok pula batangnya,” komentar anak pertama saat musim dingin.

“Pohon pir itu menggembirakan dan penuh dengan kuncup-kuncup hijau yang menjanjikan,” komentar anak kedua pada musim semi. “Pohon pir itu pohon yang cantik yang dipenuhi oleh bunga-bunga bermekaran yang berbau harum,” komentar anak ketiga ketika musim panas. Anak keempat tidak setuju dengan pendapat ketiga saudaranya.

“Bahwa pohon itu dipenuhi oleh buah-buah ranum, harum, dan enak,” ujar anak yang keempat pada musim gugur. Sang ayah berkata bahwa mereka semua benar, hanya saja mereka melihat pada waktu yang berbeda. Dan sang ayah berpesan, ”Mulai sekarang jangan pernah menilai kehidupan hanya pada suatu masa yang sulit.

”Ketika kita sedang menghadapi sesuatu masa yang sulit, segalanya menyedihkan, banyak kegagalan dan kekecewaan. Jangan cepat menyalahkan diri sendiri atau orang lain, bahkan berkata kita tidak mampu, bodoh dan bernasib sial.

“Di tangan Tuhan hidup kita.“ Berarti tidak ada istilah nasib sial bagi orang yan beriman. Kerjakan apa yang menjadi bagian kita dan percayalah Allah SWT akan mengerjakan bagianNya.

Jika kita tidak bersabar ketika berada dalam musim dingin, maka kita akan kehilangan keindahan musim semi yang cantik, kehangatan musim panas yang menjanjikan harapan. Dan kita tidak akan memanen hasil pada musim gugur. Kegelapan malam tidak selamanya bertahan, esok akan ada fajar yang mengusir kegelapan . Ada harapan ada kegembiraan, dan tersenyumlah. (KAK MER)

Sumber : http://www.Baitulamin.org

 
Oleh : Achmad Chodjim

Al-salâmu ‘alaykum wa rahmat Allâh wa barakâtuh,

Bila kata “muslim” di dalam Alquran disebut sekitar 40-an kali, tidak demikian dengan kata “mukmin”. Kata ini dalam berbagai variasinya disebut lebih dari 200 kali. Ini artinya manusia mukmin menjadi standar bagi masyarakat Islam. Dan, nyatanya Alquran senantiasa memanggil pengikut Nabi Muhammad dengan kalimat panggilan “hai orang-orang yang beriman”. Dan, tidak pernah pengikutnya dipanggil “hai orang-orang Islam”, “hai orang-orang yang berserah diri”.  

Orang-orang mukmin adalah manusia standar dalam masyarakat Islam. Kalau di zaman sekarang, orang-orang mukmin ini dapat dikategorikan kelas menengah. Jika orang muslim masuk kelompok terbawah, mukmin kelas menengahnya. Suatu negara tidak akan dapat maju bila kelas menengahnya sedikit atau semu. Dalam arti umum, mukmin adalah orang yang aktif beriman. Sedangkan seseorang disebut beriman bila dapat dipercaya, dan membuat aman kehidupan di sekitarnya.

Apa ciri-ciri orang mukmin secara Qurani?

Pertama, tidak melakukan kerusakan di bumi. Baik itu kerusakan lingkungan hidup maupun kerusakan harta benda. Di QS 2:11 dinyatakan dengan tegas kepada orang yang mengingkari kebenaran alias orang kafir agar tidak melakukan kerusakan di bumi. Ya, larangan inilah yang dinyatakan pertama kali untuk membedakan antara mukmin dan kafir. Orang kafir melakukan kerusakan, tapi mereka merasa berbuat kebajikan. Hal ini terjadi karena mereka tidak menyadari akibat tindakannya. Sedangkan orang mukmin memang harus membuat aman lingkungan hidupnya.

Kita lebih sensitif terhadap label mukmin daripada hidup sebagai seorang mukmin yang sejati. Padahal, kalau kita ini seorang mukmin, maka tetangga kita pasti aman dari gangguan lidah dan perbuatan kita. Kalau kita ini orang mukmin maka kita pasti mudah dipercaya oleh oranhg lain, karena orang mukmin pasti tidak berkhianat.

Kedua, orang-orang beriman tidak akan membunuh nabi-nabi (QS 2:91). Ayat seperti ini tidak bisa dipahami secara literal. Sebab, jika dipahami secara literal kita di zaman sekarang dapat dikatakan tidak menemukan nabi-nabi. Tidak membunuh nabi-nabi artinya kita tidak membunuh sifat kenabian yang ada di dalam diri kita. Kita harus tetap menjaga kehidupan nurani kita.

Dulu, nabi-nabi yang banyaknya ratusan ribu itu memang diutus untuk menjaga nuarani umat manusia. Para nabi itu membimbing umat manusia agar tetap di jalan hidup yang benar. Dan, Alquran pun tidak menyebut pembunuhan kepada para rasul, tapi pembnuhan terhadap nabi-nabi. Dan, kalau diartikan literal, maka nabi hanya ada di Arab. Sehingga hanya orang yang berbahasa Arab yang mengerti. Sekarang di Amerika banyak penulis buku yang berani menyebut dirinya “prophet”. Di Amerika atau di Barat mereka secara terbuka mengklaim sebagai “prophet” tetap dijaga keamanannya. Dan, klaim “prophet” bagi masyarakat Barat dipandang biasa.

Padahal, kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, “prophet” adalah nabi. Dan, di Kitab Injil, para pengikut Yesus hanya diperingatkan agar tidak mengikuti para nabi palsu. Mereka sudah dewasa, maka mereka tidak marah bilamana ada orang menyatakan bahwa dirinya nabi. Tapi, kesadaran kita masih rendah, sehingga kita merasa tersinggung dan marah bila ada orang mengklaim dirinya nabi.

Kita lebih terbawa arus labelisasi daripada hakikat kenabian. Padahal, yang paling penting itu adalah menjaga kenabian yang ada di dalam diri kita masing-masing. Bila  nabi yang ada di dalam diri kita ini aman, maka batin kita akan hidup. Bila nabi di dalam diri kita sejahtera, maka mata batin kita akan semakin tajam. Telinga batin akan semakin peka. Dan, hati kita akan mampu menangkap sasmita atau tanda-tanda di alam. Dengan demikian, kita senantiasa siaga tanpa harus siaga.

 
Ketiga, orang beriman tidak melakukan riba (QS 2:278). Riba, arti asalnya adalah kelebihan atau tambahan di luar pokok pinjaman. Ini makna asal. Namun, ternyata yang diharamkan adalah riba yang menyengsarakan. Perhatikan ayatnya berikut.

 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu memperoleh kejayaan hidup. (QS 3:130).

Dan, jagalah dirimu dari api yang disiapkan untuk orang-orang yang mengingkari kebenaran. (QS 3:131)

Ayat yang dikutip ini memang tidak terpisah dari QS 2:278. Memang, ada ulama yang menganggap bahwa dengan turunnya 2:278 itu berarti semua jenis riba diharamkan dalam agama Islam. Lebihan sekecil apa pun dilarang. Begitulah pandangan kaum literal terhadap riba. Namun, bagi yang memandang tak ada penghapusan sesama ayat Alquran, ayat-ayat itu dianggap saling menjelaskan. Yang satu menjelaskan bahwa dalam tatanan masyarakat Islam, riba itu pada prinsipnya diharamkan. Tapi, yang jelas-jelas haram ialah riba yang memberatkan.

Mungkin ada saudara kita yang menanyakan riba yang mana yang meringankan. Riba yang meringankan adalah riba yang memacu kemajuan perusahaan, perdagangan, dan merangsang tumbuhnya perekonomian. Nah, di sinilah kita tidak boleh terjebak dalam permainan kata. Kita harus jujur dalam memahami pengertian “tambahan bagi poko pinjaman”. Dengan kata lain, apakah semua tambahan disebut riba?

Kalau kita mengacu pada ayat 3:130, maka tambahan yang disebut riba adalah tambahan berlipat ganda yang menyebabkan ambruknya sistem perekonomian. Dalam ayat 2:275, orang yang memakan riba yang demikian itu dinyatakan sebagai orang yang berdiri dalam keadaan kerasukan setan. Artinya, bangunan kekayaan yang diperoleh dari riba itu sebenarnya tidak kokoh. Makanya, prinsip perbankan pada mulanya tidak untuk mencari kekayaan. Bank sebenarnya merupakan fondasi perekonomian bangsa bila bank hanya memungut bunga sebatas untuk menutupi ongkos produksinya. Tujuan utama bank adalah untuk membantu perkembangan perekonomian bangsa.

Yang dijelaskan di atas adalah makna harfiah riba. Sebenarnya, perintah untuk meninggalkan riba bagi orang-orang mukmin itu juga mengandung makna batin. Yaitu, setiap orang mukmin harus meninggalkan sikap hidup menumpuk kekayaan dengan cara mengeksploitasi orang-orang miskin. Inilah makna batinnya. Makanya, pada ayat 3:131 itu disebutkan bahwa kita ini wajib menjaga dan memelihara diri kita. Kalau diri kita ini tidak kita perhatikan, tidak kita rawat dengan baik, maka “api” senantiasa siap membakar diri kita. Dengan kata lain, hawa nafsu kita akan menjerat kehidupan kita bilamana kita tidak bijak dalam memelihara diri kita.

Kita perlu mawas diri agar kita dirahmati Allah. Coba perhatikan dengan seksama, apa ada riba bila kita tidak memperturutkan hawa nafsu kita. Jikalau kita tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan kekayaan dengan menghisap orang miskin, niscaya kita tak akan menarik riba. Karena, hakikat riba ialah menambah harta dengan cara mengam-bil keuntungan dari penderitaan orang lain.

Keempat, orang-orang mukmin dilarang mengambil orang-orang kafir sebagai teman kepercayaannya (QS 3:28). Secara lahiriah, ayat ini mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, kita jangan menaruh kepercayaan kepada orang-orang “out-group” melebihi kepercayaan yang kita berikan kepada warga “in-group”. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga eksistensi masyarakat. Dan, hal ini sudah menjadi common sense, sudah menjadi pengetahuan atau pandangan umum.

Kata awliya’ pada ayat tersebut bukan berarti pemimpin tapi teman kepercayaan. Kata awliya’ juga bermakna teman yang lebih disukai. Ajaran ini bukan untuk menanam-kan kesukuan atau golongan. Tapi, ini merupakan sistem bangunan masyarakat. Jikalau kita lebih memilih orang-orang kepercayaan itu dari “out-group”, maka cepat atau lambat akan timbul renggangnnya hubungan di antara anggota “in-group”. Dan, kalau ini sampai terjadi, maka tinggal tunggu kebangkrutan eksistensinya.

Dalam ayat tersebut dikatakan bila kita memilih teman kepercayaan dari “out-group” daripada “in-group”, maka hubungan dengan Allah akan lenyap. Apa ini artinya? Artinya, bila kita lebih mempercayai orang dari luar kelompok daripada sesama anggota kelompok sendiri, maka jalinan persaudaraan yang telah dibangun Allah itu akan rusak, binasa. Memilih orang kepercayaan dari luar “grup” itu diperkenankan sepanjang ada “strategi” tertentu yang sudah ditetapkan. Misalnya, untuk menggali informasi atau untuk menimba pengetahuan.

Penutup ayat itu menyatakan bahwa Allah memperingatkan kita terhadap “Nafs-Nya.” Kata “Nafs-Nya” sama dengan Sifat-sifat atau Hakikat Diri-Nya. Sedangkan Hakikat Allah itu ya hukum kebenaran yang ditetapkan di alam raya. Jika kita tidak bekerja berdasarkan hukum kebenaran maka akibatnya sangat fatal atau mematikan. Makanya, kita pun harus paham hukum sosial yang sekarang ini bisa kita pelajari dari sosiologi maupun psikologi sosial.

Secara batiniah, kita diingatkan oleh Allah agar lebih mendengarkan suara batin sendiri daripada suara dari eksternal kita. Bila kita lebih mengandalkan suara luar atau “informasi katanya”, maka kita akan terputus dari kebenaran, akan terputus dari Allah. Kita boleh mengambil langkah untuk menerima suara dari luar, bila untuk menambah wawasan hidup kita. Dan, ini pun perlu penyaringan yang ketat. Dalam hal ini, kita benar-benar harus memperhatikan “sistem kebenaran” yang bekerja di alam ini. Bila tidak kita lakukan, ya akibatnya harus ditanggung sendiri.

Kelima, sikap hidup seorang mukmin itu berjihad (berjuang sungguh-sungguh) di Jalan Allah dan berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 4:95, 100). Jihad di Jalan Allah dilakukan dalam bentuk “harta dan jiwa”, perjuangan fisik dan non-fisik, lahir dan batin. Berjihad tidak berarti berperang dalam bentuk pertempuran untuk saling membunuh secara fisik. Berjuang adalah peperangan untuk mengalahkan tuntutan hawa nafsu atau ego kita.

Berjihad itu tidak berarti mencari “musuh” dari luar. Tapi, ini lebih menegaskan usaha mengalahkan musuh yang ada di dalam diri sendiri. Dan, berjihad itu harus dilakukan oleh setiap orang yang beriman. Lha, kalau makna jihad harta itu dipahami secara literal, maka orang-orang miskin tidak bisa melakukan jihad. Kalau masih mengandalkan hal-hal yang fisikal secara literal, maka itu kelasnya masyarakat muslim sebagaimana yang telah kita pelajari.

Jihad harus diserta hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini pun tidak bisa dipahami secara harfiah semata. Mengapa? Karena, kalau ini dipahami secara harfiah, sekarang ini Rasul Muhammad sudah tidak lagi hadir di tengah-tengah umatnya secara fisik. Padahal, ayat ini berlaku selamanya. Hijrah sebenarnya pergi meninggalkan daerah lama menuju daerah baru yang merdeka. Di daerah baru ini kita aman untuk dapat mengekspresikan jiwa kita. Kita bebas dari tekanan hidup.

Bila hijrah dimaknai secara harfiah, maka di zaman sekarang ini kita akan mengalami kesulitan dalam berhijrah. Lalu, apa makna hijrah secara batiniah? Secara batiniah, hijrah adalah tindakan untuk meninggalkan kebiasaan lama yang mengungkung diri menuju tatanan hidup yang bersumber pada Allah (hakikat hidup) dan tatanan hidup yang telah diteladankan oleh Rasulullah.


Sumber : www.serambi.co.id

 
Oleh : Achmad Chodjim

Marilah kita terapkan sifat-sifat mulia dalam kehidupan beragama mulai dari tataran yang paling rendah, yaitu “muslim”. Jika muslim merupakan batas terbawah dalam kehidupan beragama Islam, lalu apa yang paling tinggi? Dalam QS 33: 35 disebutkan bahwa mula-mula kita harus menjadi “muslim” dan puncaknya adalah kita menjadi “dzâkir” (jamak, dzâkirîn). Selanjutnya dzâkir ditulis “zakir”.

Dalam pengertian lahiriah seorang muslim adalah orang yang lahirnya telah mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah. Sedangkan seorang pezikir adalah orang yang menyebut-sebut nama Allah. Tentu bukan makna demikian yang kita tuju. Bila makna itu yang dimaksud, maka dalam kehidupan agama ini akan banyak terjadi kemunafikan. Kita tidak dapat membedakan kualitas orang muslim dan orang zakir. Padahal di Alquran yang satu ditempatkan di ujung bawah dan yang lainnya berada di ujung atas. Dari muslim menjadi zakir.

Sekarang perhatikan QS 46: 15 sebagai berikut.

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat ihsan kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 bulan sehingga apabila ia telah dewasa dan berumur 40 tahun, ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk menyukuri kenikmatan yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridoi. Berilah kebaikan (kedamaian) dalam hidupku dan kepada keturunanku. Sesungguhnya aku bertobat dan sesungguhnya aku termasuk orang muslim.”

 

Dari ayat tersebut kita dapat memahami makna muslim. Pertama, secara naluri manusia itu telah menerima pesan Ilahi. Dalam pesannya itu seorang manusia harus berbuat “ihsan” kepada kedua orangtuanya. Perhatikan kata “ihsan”. Jadi, memahami apa yang dilakukan oleh seorang muslim dari tinjauan makrifat, landasannya yang pertama adalah berbuat ihsan kepada kedua orangtua. Perbuatan baik tanpa pamrih. Perbuatan baik yang tumbuh dari rasa cinta. Ada ikatan batin antara anak dan orangtua.

Dalam ranah kehidupan nyata mungkin saja anak membenci orangtuanya. Tapi, kebencian itu lahir dari sikap lingkungan terhadap anak itu. Lingkunganlah yang membentuk kebencian. Yang lahir secara alami anak adalah cinta. Makanya, dalam bahasa Alquran tersebut perintah berbuat ihsan itu dinyatakan sebagai “wasiat berbuat baik”. Jadi, pada mulanya ketulusan hati itu bagian dalam manusia. Tapi, dalam sejarah hidup manusia, ketulusan itu sering tertutupi oleh kepentingan yang ditanamkan oleh orang-orang sekitarnya.

Kedua, kita diingatkan bahwa keberadaan kita ini tidak bisa dipisahkan oleh ibunda yang mengandung kita. Memang dalam ayat itu dinyatakan bahwa mengandung dan melahirkan itu dalam keadaan susah payah. Mengapa? Karena ayat tersebut bertumpu pada sistem kehamilan dan kelahiran secara alami. Namun, ayat itu pun tidak menafikan sistem modern dalam menangani kehamilan dan kelahiran. Si ibu tetap menanggung risiko, meski jauh berkurang daripada yang alami.

Sebenarnya, ada perbedaan melahirkan anak dengan cara bedah dan alami, yaitu menyangkut kasih sayang. Kalau secara alami, ikatan emosional ibu terhadap anak ketika melahirkan itu tetap ada. Ini pun harus dipahami melahirkan karena hasil proses yang diterima oleh masyarakat, bukan karena hamil yang tidak dikehendaki seperti di luar nikah, atau di luar keinginan.

Namun, yang penting dari peringatan ayat itu adalah setiap manusia hadir di bumi ini melalui proses kehamilan dan kelahiran dari ibunda. Inilah yang tidak boleh dilupakan dalam hidup ini. Dan, dari sinilah kita dapat menghayati makna hidup sebagai seorang muslim. Jadi, tekanannya bukan sebagai orang yang beragama Islam, tapi seorang muslim.

Ketiga, umur 40 tahun adalah umur terendah untuk memasuki kehidupan sebagai seorang muslim. Tentu ini bukan makna lahiriah. Sebab, secara lahiriah seseorang telah memeluk agama Islam sejak bayi bila ia dilahirkan di lingkungan Islam. Ini adalah makna batiniah. Tinjauannya adalah makrifat, dan bukan syariat. Juga, ayat ini berlaku bagi semua manusia agama apa pun yang dipeluknya. Jadi, ayat ini merupakan pekabaran bagi umat manusia di mana saja berada.

Memang ada pepatah "Live begins at fourty", hidup dimulai pada saat berumur 40 tahun. Tapi, kita terlalu sulit mencari data yang menunjukkan demikian. Banyak orang yang sukses sebelum umur itu, dan banyak pula yang tidak pernah sukses meski sudah jauh dari umur 40 tahun. Sedangkan pada ayat tersebut ditegaskan bahwa umur 40 tahun merupakan basis untuk berdoa.

Dus bukan tahunnya yang sudah dilalui untuk menjadi seorang muslim, tapi tahap-tahap kehidupannya. Tahap awal adalah tahap bayi. Tahap menjadi muslim karena "taat" berdasarkan hukum di alam. Ia lahir sebagai perempuan atau bayi bukan atas kesadaran dirinya, tapi yang bekerja kesadaran bilogisnya. Ia bisa tengkurap, terlentang, duduk, berdiri, berjalan dan berlari karena proses kesadaran bilogisnya. Inilah tipe muslim yang pertama dalam kehidupan seseorang. Tahap awal ini merupakan tahap muslim berda-sarkan perkembangan nafs al-amarah. Tahap sesuai dengan "cetak biru" kehidupan.

Masuklah tahap ke-2, yaitu tahap perkembangan diri berdasarkan nafs al-lawwa-mah. Inilah tahap pengisian. Tahap pembelajaran dalam hidup. Seseorang dalam tahap ini menyerap dunia luar dirinya. Orang-orang dewasa atau anak-anak lain akan dijadikan guru-gurunya. Di sinilah orangtua harus-harus benar-benar menjadi orang yang arif dan bijaksana agar anak tidak masuk ke kehidupan yang penuh bahaya.

Ada sebuah cerita. Suatu hari ada seorang ayah --dari dua anak lelaki yang masih balita-- yang lagi mengerjakan kurban hari raya idhul adha. Ia sendiri yang memotong kambing gibasnya yang dijadikan hewan kurban. Pada saat menyembelih hewan kurban itu disaksikan oleh salah satu anaknya (si sulung). Suatu hari si adik tanya kepada si kakak tentang caranya melakukan korban. Maka, si kakak memberitahu adiknya bahwa untuk melakukan kurban itu harus diperagakan. Singkatnya cerita, kedua kakak beradik itu pergi ke sutau tempat sambil membawa pisau. Dan diperagakanlah cara menyembelih kurban itu hingga adiknya tewas.

Apa yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Yaitu, kita harus arif dalam mengerjakan sesuatu, meskipun yang kita kerjakan itu kebaikan. Mengapa? Ketika masih kanak-kanak banyak hal yang dilihat oleh anak tapi belum dipahami sepenuhnya makna sebuah tindakan. Jadi, kalau tidak hati-hati, tindakan yang baik tapi ketika ditiru anak-anaknya justru perbuatan yang membahayakan kehidupan.

Apa yang dipaparkan tersebut hanyalah salah satu saja dari perbuatan baik tapi berbahaya bagi kehidupan. Tentu, masih banyak lagi. Pernahkah kita mendengar dua anak kecil yang berlainan jenis sedang main kawin-kawinan? Ini bukan sekadar lagu, tapi benar-benar praktik kawin pada anak yang masih kelas 2 SD (yang umurnya baru 7-8 th). Hal semacam ini terjadi karena kecerobohan orangtua.

Makanya, dulu makrifat itu tidak boleh diajarkan kepada anak kecil atau yang akal-pikirannya belum bisa mengendapkan makna sebuah kejadian. Makrifat juga tidak diajarkan kepada mereka yang gelora emosinya masih tinggi. Ini dimaksudkan untruk menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Selanjutnya, nafs al-mulhamah. Untuk menjadi muslim di tahap ini kita harus menerangkan kepada anak-anak tentang "apa dan mengapa". Jika anak-anak yang masih memerankan nafs al-lawwamah itu menyerap apa saja yang ditangkap oleh indranya, tidak demikian bagi mereka yang sudah bangkit nafs al-lawwamahnya. Mereka secara alami akan mempertanyakan makna peristiwa dan kejadian di sekelilingnya. Maknya, kita yang tua-tua ini hendaknya tidak melakukan atau memberikan jawaban hanya sekadar untuk pemanis bibir. Kita harus jujur. Dan kejujuran sebenarnya merupakan bentuk kemusliman. Ya, sebenarnya orang yang jujur itu merupakan wujud kepasrahan diri kepada Tuhan. Makanya, kita harus belajar mengatakan "tidak" atau "ya" dengan benar, bukan sebagai pelipur lara.

 

Keempat, sudah tumbuh nafs al-muthmainah. Pada saat ini gejolak emosi mulai stabil. Gelora darah muda berjalan tenang. Fase "apa dan mengapa" sudah dilampaui, maka ia mulai memikirkan bagaimana hidup yang benar. Pada tahap inilah seseorang disebut memasuki umur 40, yaitu memasuki wilayah tobat untuk menjadi muslim. Coba, perhatikan kembali ayat di atas. Kata "doa" tidak berarti sekadar mengucapkan kata-kata sebagai permohonan. Doa juga berupa perbuatan!

 “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk menyukuri kenikmatan yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridoi. Berilah kebaikan (kedamaian) dalam hidupku dan kepada keturunanku."

Pada tahap kehidupan mutmainah seseorang mulai merenungkan dirinya, dan mulai memikirkan bagaimana berbuat yang benar dan pener. Yaitu, perbuatan yang benar dan dilakukan pada saat waktu dan tempat yang tepat. Dalam ayat tersebut dinyatakan dengan permohonan untuk diberi petunjuk agar ia mampu menyukuri kenikmatan yang dianuge-rahkan oleh Tuhan kepadanya.

Menyukuri kenikmatan ternyata bukan hanya yang diberikan kepada dirinya, tapi juga kepada kedua orangtuanya. Juga mohon dianugerahi kebaikan, baik untuk dirinya maupun untuk keturunannya. Ada proses yang harus dikerjakan secara fisik, pemikiran, dan spiritual. Masing-masing sifat terpuji yang telah kita bahas sebenarnya mulai diterapkan pada fase kehidupan sebagai seorang muslim. Memang, proporsinya mungkin masih kecil, tapi jika tidak dimulai dari yang kecil kita tak akan sanggup melakukan sekaligus apa yang disebut perbuatan terpuji itu.

Ingat, kata "menyukuri" tidak sama dengan mengucapkan kata "terima kasih". Maka, pada ayat tersebut sang hamba memohon "petunjuk untuk menyukuri anugerah". Jadi, ada petunjuk untuk bersyukur. Jika itu berupa anugerah kesehatan, maka cara untuk menjaga kesehatan itu merupakan cara bersyukur. Bila ada anugerah kekayaan, maka cara memanfaatkan kekayaan bagi sebesar-besar kemakmuran keluarga dan lingkungan-nya merupakan cara bersyukur.

Lalu, apakah berdoa agar ditunjuki cara bersyukur itu cukup diungkapkan dengan doa? Tentu saja, tidak! Harus ada proses belajar dalam hidup ini. Ya, belajar memelihara kesehatan, belajar mengatur keharmonisan rumahtangga, belajar untuk mendidik anak agar dicucuri anugerah "islah" atau kehidupan yang damai, dan lain sebagainya. Jika, semua yang kita lakukan itu wujud dari kepasrahan yang dituangkan dalam wujud usaha, maka sebenarnya kita telah mengawali kehidupan sebagai seorang muslim dari sudut makrifat. Dan, sudah pasti upaya ini benar dari tinjauan syariat!

Untuk itu marilah kita simak kembali QS 2:133.

Sumber : www.seerambi.co.id
 
Paduan Psikologi Humanistik dan Tasawuf

Oleh  Rani Anggraeni Dewi, MA

Sudah menjadi jamak, bahwa antara Psikologi Humanistik dan Tasawuf sama-sama membincangkan “unsur dalam” manusia yang menjadi hakikat eksistensi diri. Drive, karakter dan locus spiritual  juga menjadi disiplin kajian keduanya. Meski demikian, satu hal yang tak terbantah, tasawuf tidak sekedar “meraba” sisi luar dan agak dalam diri manusia. Sebagai misal, jika dalam psikologi humanistik pengembangan pribadi untuk menjadi self actualized people  ditandai dengan perilaku yang baik dan lurus serta memiliki pengalaman peak experience. Tidak demikian dengan tasawuf, dalam tasawuf untuk menjadi pribadi insan kamil dicirikan tidak saja memiliki pengalaman trasendental dan akhlak terpuji tetapi juga mencerminkan akhlak citra ilahi.

Benar kedua pandangan diatas sama-sama menganggap pengembangan pribadi merupakan tujuan fundamental, akan tetapi psikologi humanistik tertuju pada pengembangan pribadi, pada potensi yang didasari oleh kebutuhan dasar hierarkis. Sebaliknya, ilmu tasawuf menembus potensi batiniah. Pendek kata, pengembangan pribadi pada psikologi humanistik sebatas dimensi eksoteris, sementar ilmu tasawuf penekanannya pada dimensi esoteris.

Fakta inikah yang kemudian membuat Maslow sebelum wafatnya (ujug-ujug) mencantumkan satu kebutuhan dasar manusia lagi yang di-istilahinya dengan transpersonal  ? Wallaahua’lam !  Yang pasti Rani memiliki jawaban pertanyaan yang sedikit “menggelitik” itu. Malah dengan tegas Rani menilai bahwa Psikolgi Humanistik, tak ubahnya seperti ilmu psikologi moderen lainnya, telah gagal “mengawal” masyarakat moderen kepada kehidupan yang lebih “fresh” dan “soft”.

Meski demikian, ibarat dalam sebuah kelompok orkestra, Rani bak seorang dirigen yang mengorkestrasikan agar sebuah tampilan berpadu-padan, selaras, apik terlihat mata dan nyaman diterima mati. Rani mampu mempertemukan “titik pandang” psikologi dengan tasawuf dalam mengatasi problem kejiwaan manusia moderen. “Kekurang mampuan psikologi dalam menjawab persoalan hidup inilah yang menyebabkan saya berpikir akan perlunya metode pengembangan pribadi yang holisitik, demi melahirkan sosok pribadi humanis yang sufistik.

Maslow memperkenalkan dengan istilah transpersonal yang diidentikkannya dengan realisasi akan kebutuhan transendensi diri. Dan sebenarnya di antara kebutuhan akan aktualisasi diri, sebenarnya terdapat meta-kebutuhan (meta-needs) yang diistilahkan sebagai kebutuhan akan kebermaknaan, kebutuhan luhur nilai-nilai insaniah (being valued), seperti kebutuhan memiliki kesempurnaan, keindahan, keunikan,kebenaran atau kebahagiaan. Masih berkaitan dengan pemenuhan jenjang kebutuhan, Maslow bertutur:”…As you move up trough the hierarchy, the needs are also more distinctly human and less animalistic”. Pribadi yang ter-aktualisasi oleh Maslow dilukiskan: “Pribadi yang teraktualisasi sebagai seseorang yang menggunakan dan memanfaatkan secara penuh bakat, kapasitas, dan potensi”.

Orang-orang yang dapat mengaktualisasikan dirinya itu merasa sukses dan mencapai kepuasan. Mereka dapat meraih kebahagiaan yang hakiki dibandingkan orang yang tidak mengalami aktualisasi diri. Pada umumnya orang-orang yang dapat meng-aktualisasikan diri nya bercirikan jujur, menjadi dirinya sendiri, tepat dalam mengekspresikan pikiran dan emosi-emosinya, melihat hidup dengan jernih, berusaha mencari dan menghadapi emosi dari pada menghindari, dan memiliki kemampuan jauh diatas rata-rata.

Rendah hati, kreatif dan ekspresif, memiliki kadar konflik yang rendah baik dengan diri sendiri maupun dengan orang lain, membaktikan hidupnya pada pekerjaan-pekerjaan dan kewajiban-kewajiban dengan penuh kegembiraan. Bahkan ia mampu melihat realitas tersembunyi, lebih sedikit memiliki kecemasan atau ketakutan dan pesimisme, berani membuat kesalahan, mampu menyesuaikan diri dalam perubahan, dan mengalami “peak experience”,  yakni, “Something that tends to take you outside your self, you are not thinking about your self but rather are experiencing whatever you’re experiencing as fully as possible”.

Bukankah setiap orang memiliki potensi untuk mencapai aktualisasi diri ?  Ya. Benar, sebab hal ini merupakan kebutuhan intrinsic manusia, namun umumnya orang sulit mencapai tingkat  aktualisasi diri, bahkan kebutuhan akan berprestasi sekali pun tidak. Sebagian orang sulit menyadari akan kebutuhan hakikat dirinya. Padahal manusia memiliki kapasitas untuk tumbuh.

Sayangnya, hasil penelitian menunjukkan hanya sebagian kecil persentasi orang yang mampu mendekati realisasi penuh atas kemampuan-kemampuan mereka. Kenapa orang sulit mencapai tingkat aktualisasi diri ? Untuk konteks kekinian dan kedisinian, penyebab utamanya adalah mindsite materialisme yang sudah membanjiri  kepala banyak orang.

Padahal dalam proses pengembangan pribadi, aktualisasi diri dilakukan tanpa melibatkan kepentingan pribadi yang sifatnya “untung-rugi”, tetapi dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dan ketulusan. Tujuan aktualisasi dalam proses pengembangan pribadi semata-mata untuk mencapai kebutuhan being values, antara lain, untuk meraih kebahagiaan, penuh makna, dan kesempurnaan.

Aktualisasi diri juga diarahkan untuk melakukan perbaikan dalam sikap dan perilaku dengan cara membaktikan hidupnya pada pekerjaan dan kewajiban yang didasarkan pada panggilan hati nurani (innervoice) dengan sikap bersungguh-sungguh. Jika ia seorang guru, pasti ia menjadi guru yang baik, bukan sembarang guru. Jika ia seorang mahasiswa, pasti ia menjadi mahasiswa yang baik, bukan sembarang mahasiswa. Jika ia seorang karyawan, pasti ia menjadi karyawan yang baik, bukan sembarang karyawan, dan seterusnya dan sebagainya. Nah, ini menuntut kerja keras, disiplin, latihan dan tidak jarang perlu menunda kenikmatan.

Mereka benar-benar mandiri dan sungguh-sungguh dalam menentukan apa yang menjadi kehendaknya. Perbuatan-perbuatan mereka benar-benar berdasarkan hati nurani, bukan karena orang lain, atau prestise. Sikap seperti ini dalam proses pengembangan pribadi akan membawa individu pada aktualisasi diri yang salah satu cirinya mengalami pengalaman puncak atau “peak experience”.Begitulah kenyataannya.

Wilcox menyebutkan, salah satu ciri dari orang yang beraktualisasi diri adalah pribadi yang memiliki pengalaman puncak atau pengalaman mistik. Bagi Maslow, peristiwa peak experience akan membuahkan perubahan yang sehat dalam memandang diri sendiri dan orang lain. Peak experience merupakan ungkapan subjektif di mana seseorang mengalami perasaan kagum yang besar atas terbukanya pandangan yang terbatas. Maksud “terbukanya pandangan yang terbatas” adalah perasaan lebih berdaya, memiliki keyakinan yang lebih besar, memiliki perasaan berharga yang sedikit-banyak pengalaman seperti itu dapat mengubah dan memperkuat individu dalam kehidupan sehari-hari.

Mirip sekali dengan spirit tasawuf ? Bisa iya, bisa juga tidak. Tergantung dari sudut pandang mana Anda melihat. Buat saya, antar keduanya (Psikologi Moderen dan Ilmu Tasawuf) ada “benang merah” nya disana, meski saya tahu psikologi Barat telah “gagal mengawal” masyarakat moderen saat ini.

Berdasarkan teori dan pengalaman saya, Psikologi Barat Moderen, include Psikologi Humanistik, tidak menemukan landasan penyebab faktor-faktor yang menetapkan perilaku manusia. Dia hanya memerhatikan gejala perilaku yang kasat mata. Psikologi Humanistik tetap berangkat dari psikologi moderen atau psikologi Barat yang berbasiskan science, di mana kajian-kajiannya berdasarkan pengamatan perilaku manusia yang mengandalkan panca-indra saja dan intelektual manusia.

Dan kalau tadi Anda menyinggung soal tasawuf, ilmu tasawuf menggunakan pedoman yang diyakini langsung berasal dari Tuhan sebagai wahyu kepada Nabi Muhammad, yakni Al-Quran dan Sunnah Rasulillah, yang kemudian disampaikan kepada manusia sebagai tuntutan hidup.

Para Sufi melalui tafakkur dan ‘ubudiyyah nya dapat menangkap pesan Tuhan berkat kesucian jiwanya seperti memiliki akses langsung, online, langsung berdialog dengan Tuhan lewat sirr-Nya. Apalagi para psikolog masih memperdebatkan masalah intuisi, artinya kemampuan dan potensi ini masih saja dipertanyakan oleh sebagian dari mereka, sehingga mereka hanya mau mengakui hasil studi berdasarkan pengalaman indrawi dan akal saja.

Karena intuisi justru dianggap lebih mampu memberikan keyakinan atas masalah-masalah yang sulit dipahami secara kasat mata. Hal ini dipertegas oleh Al-Ghazali bahwa “Pengetahuan intuisi adalah penyebab hilangnya keraguan”. Para Sufi Agung memberdayakan intuisinya untuk membaca ayat-ayat Allah atau tanda-tanda Nya yang terdapat pada seluruh alam semesta termasuk pada diri manusia sendiri.

Latihan-latihan spiritual, seperti riyadlah  dan suluk yang dijalani oleh para penempuh jalan spiritual secara sungguh-sungguh memungkinkan terasahnya kemampuan intuisi yang dapat mengubah dan dapat meningkatkan penghayatan mereka terhadap kehadiran Allah yang sangat dekat, bahkan lebih dekat, lebih dekat dan lebih dekat lagi  dari urat lehernya dan disetiap aspek kehidupan. Dan ingat. Meski para psikolog dan ilmuwan Barat tidak terlalu concern pada potensi (intuisi;red) ini, faktor potensi (intuisi;red) masih menjadi perhatian dalam kaitannya dengan pengembangan pribadi. Gawain (Shakti Gawain;red) memperkuat pendapat ini, bahwa intuisi juga memberikan kontribusi pada hasil temuan dan tindakan manusia.Perbedaan pandangan yang lain antar psikolog dan sufi, misalnya tentang inteligensi.

Dalam pandangan psikologi moderen, intelegensi kerap dikaitkan dengan kemampuan berpikir secara logis atau rasional atau bernalar secara sistematis dan terkadang matematis. Proses berpikir yang dimaksud melibatkan fungsi akal yang berkaitan dengan struktur dan proses biologis otak. Pandangan psikologi di atas sangat berbeda dengan pandangan ilmu tasawuf. Menurut tasawuf, intelegensi berkaitan dengan akal (‘aql) yang diartikan dengan pikiran, bukan semata-mata dengan penalaran. Karena, pikiran terdiri dari rasio dan rasa. Jadi makna ‘aql di dalam Al-Quran tidak saja berpikir secara rasional atau logis, tetapi juga melibatkan emosional.

Dari pandangan ini, bagi psikologi, fungsi akal berada di dalam otak, sedangkan bagi ahli tasawuf ‘aql bertempat di dalam hati, atau qalb yang terletak di sekitar dada dekat jantung. Merujuk pada Tafsir Muhammad Yusuf Ali dan Frager bahwa hatilah yang menyimpan kecerdasan. Bukankah para psikolog memiliki berbagai teori dan prinsip dalam mengukur intelegensi ? Betul. Tapi teori dan prinsip yang dimiliki para psikolog masih merupakan fenomena yang tidak cukup diamati secara indriawi, dan anda tahu bukan,  manusia terdiri dari jasmani dan ruhani!?

Dalam tasawuf tidak ditemukan pengukuran dengan alat fisik apapun, tetapi seorang salik (pengamal tasawuf) diharapkan menjadi peneliti bagi dirinya sendiri, mengamati, dan merasakan langsung kondisi batinnya. Dalam hal ini terdapat anggapan tak seorang pun dapat mengetahui apalagi mengukur kecuali dirinya dan Tuhan. Dalam proses pengamatan dirinya tidak mustahil ia dapat meningkatkan kecerdasannya melalui pengalaman-pengalaman yang langsung dialami. Ini sesuai dengan Wilcox, bahwa intelegensi adalah kemampuan belajar dari pengalaman. Seorang salik belajar dari pengalamannya sendiri yang mendorong ke arah perubahan perilaku.

Ketika seseorang memiliki pengetahuan tentang eksistensi manusia, maka mulai ada peluang untuk mengkaji tentang dirinya. Selanjutnya, bila ia kemudian sadar akan potensi yang diberikan sebagai karunia Tuhan belum teraktual-kan, maka ia lebih mudah untuk membuka diri memperjuangkan kebutuhan-kebutuhannya sampai meraih aktualisasi diri dan menjadi pribadi yang didambakannya.

Jika Maslow tidak menjelaskan secara spesifik bagaimana cara yang tepat untuk memenuhi meta kebutuhan, di dalam ilmu tasawuf cara-cara itu dapat dipelajari dan langsung diamalkan bisa dalam bentuk ‘uzlah, khalwat, riyaadlah atau mujaahadah.

Konsep kebahagiaan

Namun ilmu tasawuf mengajarkan untuk tidak berlebih-lebihan dalam memenuhi kebutuhan dasar itu. Dan itu berarti kebutuhan yang bersifat fisiologis-psikologis bukanlah sesuatu yang mutlak bagi para pengamal tasawuf, namun hanya sebagai sarana dalam upaya beribadah kepada Allah Swt.

Konsep kebahagiaan keduanya (psikologi dan tasawuf) pun berbeda. Dalam tinjauan psikologi orang bahagia bila berhasil memenuhi kebutuhannya, mencapai cita-cita dan harapannya, berhasil menggapai anganangannya yang mungkin bersifat materialistik.

Tetapi tidak demikian dengan tasawuf, kebahagiaan yang hakiki adalah ketika “berjumpa” dengan Tuhan, Sang Khaliq, Sang Kekasih Abadi. Oleh karenanya, menjadi pribadi mukmin dengan jiwa yang muthmainnah dan suci menjadi target pengembangan pribadi, sesuai dengan firman Tuhan (QS Al-Fajr (89):27-28).

Para Sufi mendapat ketentraman dan kebahagiaan melalui penyucian jiwa, melepaskan diri dariketergantungan pada kehidupan hedonistik untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Selebihnya, ia senantiasa merasakan kehadiran-Nya, bahkan “bersatu” dengan-Nya dalam pengertian menginternalisasikan sifat-sifat Allah di dalam diri yang termanifestasikan pada akhlak terpuji penuh kearifan, kemudian menjalankan misinya sebagai khalifah sesuai dengan Allah Swt.

Sebenarnya perhatian tasawuf pada  penekanan betapa pentingnya mengenal diri, penekanan pada spirit sabda Rasulullah, man ‘arofa nafsah faqod ‘arofa robbah, orang yang mengenal dirinya pasti mengenal  Tuhannya.  Ini menunjukkan suatu tindakan atau perbuatan yang mengarah pada upaya untuk mendapatkan pengetahuan tentang hakikat diri dan keesaan Tuhan.

Imam Al-Ghazali mengatakan, setiap orang yang ingin mengenal dirinya dan keajaiban karya Allah Swt dalam dirinya minimal memiliki tiga kriteria: Pertama, memiliki pengetahuan bahwa hanya Allah yang dapat membuat manusia menjadi sempurna. Kedua, memiliki pengetahuan bahwa ilmu Allah luasnya tidak terbatas. Ketiga, memiliki pengetahuan bahwa terdapat kebenaran pada setiap ciptaan-Nya.

Masih kata Imam Al-Ghazali, “Jika kita ingin mengenal diri, maka ketahuilah dua hal dengan sebenar-benarnya, pertama,  hati, dan kedua, jiwa (ruh).  Al-Ghazali juga menekankan, bahwa:“Kemuliaan manusia tidak ditentukan oleh kesiapannya mengenal Allah, tetapi dalam kesiapannya mengenali hatinya. Jika manusia telah mengenali hatinya, maka ia telah mengenali diri sendiri. Jika ia telah mengenali diri sendiri, maka ia telah mengenal Tuhannya.”Untuk mendapatkan ketigakriteria di atas tidak ada jalan kecuali harus berusaha melalui berbagai jalan, salah satunya melalui jalan yang ditawarkan dalam ilmu tasawuf, yakni bertarekat.

Sayangnya, sudah ratusan tahun manusia telah “dininabobokan” oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih yang dianggap memberikan rasa aman dan nyaman .

Einstein pun pernah mengutarakan penyesalannya, seharusnya kemajuan teknologi dapat membuat manusia bahagia, tapi ternyata malah membuat dunia semakin kacau, terjadi peperangan disana-sini dan konflik menyeruak di mana-mana.Tapi saya melihat, dibalik carut-marut yang meng-global, tidak mustahil jika ada sebagian manusia di muka bumi ini berusaha mencari pencerahan atau semacam “channel” yang dapat menerangi setiap lubuk hati. Faktor inilah yang menyebabkan manusia moderen (dewasa ini) kemudian mencari ketenangan pada kelompok-kelompok pengajian untuk meningkatkan pemahaman dan penghayatan syari’at.

Bagaimana dengan orang-orang Barat yang hidupnya sudah terlanjur sekuler, bagaimana cara mereka menyambung channel itu ?  Sebagian besar dari mereka ada yang mempelajari aspek mistis dari ajaran agama tertentu; Richard Gere yang menjadi murid setia Dalai Lama, meninggalkan rumah mewahnya untuk tinggal di India, disuatu tempat pengasingan pemimpin spiritual Tibet tersebut; Madonna dan Elizabeth Taylor tertarik untuk mempelajari dan mengamalkan jalan mistik Yahudi, yaitu Kabbalah.

Ada juga yang mengambil jalan pintas, yaitu dengan bunuh diri agar cepat “berjumpa” dengan Tuhan dan dapat menemukan kebahagiaan yang kekal dan abadi di alam sana, seperti kelompok The People’s Temple’s yang melakukan bunuh diri massal setelah diperintahkan oleh Jim Jones, pemimpin kelompok tersebut yang hidup menyendiri di sebuah hutan di Amerika Latin. Kekurangmampuan psikologi dalam menjawab persoalan hidup inilah yang menyebabkan saya berpikir akan perlunya metode pengembangan pribadi yang bersifat holistik, demi melahirkan sosok pribadi humanis yang sufistik.Kenapa harus Pribadi Holistik ? Hazrat Pir Inayat Khan mengibaratkan psikologi dan tasawuf bagaikan hubungan lampu dengan sumber daya listrik.

Para psikolog yang memikirkan bagaimana caranya membuat lampu dengan berbagai bentuk, warna, dan fungsinya, sesuai dengan kebutuhan pengguna, termasuk ukuran-ukurannya.Namun demikian bila listrik padam, maka lampu tidak menyala, tidak berdaya dan akhirnya tidak berfungsi hingga tidak bermanfaat bagi si pengguna, bukan ? Oleh sebab itu, lampu ini sangat tergantung kepada sumber daya listrik.

Para sufi sangat mengetahui bagaimana menghubungkan lampu itu dengan sumber listrik yang abadi, yang tidak terbatas. Sehingga lampu tersebut kemudian senantiasa manfaaat menjadi penerang dan berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya. Dalam konteks pengembangan pribadi Maslow menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan pokok yang terdapat pada individu hingga tercapainya kebutuhan transendental agar supaya tercipta kehidupan yang tenteram dan meraih kebahagiaan. Kebahagiaan model psikologi ini sangat terbatas ruang dan waktu, belum mendalam dan belum merasuk jiwa seperti halnya kebahagiaan yang  dialami para sufi. Ini terjadi karena kebahagiaan ala psikologi adalah kebahagiaan yang berangkat dari pemenuhan kebutuhan  psikologis yang sebatas di dunia saja. Sedangkan tasawuf, memberikan cara pengembangan pribadi yang menekankan pada kebersihan dan kesucian jiwa demi menjangkau tujuan yang sangat tinggi dan mulia, yakni perjumpaan dengan “Sang Kekasih”, Allah Swt.  Bagi para sufi perjumpaan dengan Allah Swt merupakan kebahagiaan yang tiada bandingannya.

Nah menurut saya pengembangan pribadi manusia yang utuh adalah perpaduan pengembangan pribadi model psikologi humanistik dan pengembangan pribadi model sufi.

Secara praktis dapat dikatakan setiap individu hendaknya bekerja, memenuhi sandang, pangan, dan kebutuhan-kebutuhan sensual maupun seksualnya, mengembangkan kemampuan intrapersonal serta hubungan interpersonal  yang harmonis. Selain itu, ia menggali potensi melalui pemberayaan bakat dan minatnya sesuai dengan teori Multiple Intellegence-nya Gardner secara optimal dan berprestasi hingga terciptalah perwujudan atau aktualisasi diri.

Berbarengan dengan itu, individu tersebut hendaknya juga secara sistematis melakukan latihan-latihan yang terdapat pada pola dan langkah tazkiyyatun nafs yang dilakukan para sufi, seperti yang telah dilakukan Imam Al-Ghazali. Itulah konsep Manusia Holistik.

Sumber : sufinews.com

 
Oleh: Kuswanto Abu Irsyad

Memang sangat banyak faktor yang dapat menghambat evolusi jiwa/ruhani kita dalam pencapaian tingkat yang lebih sempurna. Agar di dalam menghadap menuju Sang Sumber penuh dengan kepasrahan untuk menyatu ke dalam relung-relung keabadian. Faktor penghambat itu antara lain adalah gambaran, khayalan, lamunan atau anggapan-anggapan yang merintangi dan menghalangi atau mengganggu diri kita dalam mencapai derajat tinggi disisiNya. Haruslah segala ringtangan itu dibuang jauh-jauh, harus disingkirkan. Segala emosi yang melekat pada diri kita disaat berinteraksi dengan keduniaan, hapuslah semuanya. Supaya jiwa kita dan semangat kita berkembang dengan teguh serta bebas sehingga dapat memantapkan kepercayaan kepada diri pribadi kita sebagaimana yang telah kita saksikan di alam Mi’raj.
Adapun yang sering menimbulkan halangan itu adalah berasal dari diri sendiri, yaitu perasaan kita yang sering merasa kecewa, marah, ragu, merasa rendah, dhaif, merasa bodoh, bimbang, khawatir, suka, duka dan gembira yang selalu mudah untuk dikuasai oleh emosi kita.
Hal ini merintangi diri kita dalam penyaksian terhadap NUR ILAHI yang sangat jauh dari cacat dan kekurangan sedikitpun. Buanglah jauh-jauh pikiran yang menganggap remeh apa yang telah kita saksikan, memang setiap individu berbeda-beda kadar penyaksiannya, tetapi bagi kita yang belum mencapai tingkat penyaksian yang sempurna atau sedikitnya tawhid (menyatu) terhadap Cahaya yang kita saksikan untuk memasuki lorong NURUN ALA NURRIN dalam gilang-gemilang kemegahan CahayaNya, jangan lantas berpikir Cahaya yang ada di dalam diri kita itu kalah dengan Cahaya yang ada di luar. Itu adalah suatu hal yang amat buruk dan keburukannya (akibatnya) akan menimpa dirinya sendiri.
Berusahalah dengan kesungguhan yang mantap memperkuat karep (tekad) kita dalam mengikuti kehendak Tuhan, dengan tuntunan kitab yang ada dalam diri pribadi kita masing-masing. Muliakanlah, Agungkanlah, sanjunglah dan hormatilah sebagai barang yang amat berharga yang ada pada diri pribadi kita. Tebalkanlah keyakinan kita dan sentausakanlah Iman kita serta pergunakan kejujuran hati kita untuk menghindari perbuatan yang sesat yaitu : KEBOHONGAN. Usahakanlah agar kita selalu ingat dan waspada, bijaksana dan selalu berbuat kebajikan. Perhatikan hasil dan keuntungan yang keluar dari prosesnya pikiran pribadi yang baik (Positive Thingking), disertai dengan laku yang benar. Berdasarkan pada kesopanan dan kesantunan serta kejujuran, menggunakan pikiran yang tajam, jernih dan merdeka.
Singkirkanlah sifat-sifat yang buruk, yaitu menuruti hawa nafsu yang rendah dan juga hilangkanlah sifat-sifat yang mementingkan diri sendiri serta pandangan yang keliru dan picik. Bertindaklah untuk mengikuti jalan utama. Sempurnakanlah dalam memelihara keimanan yang teguh untuk mendekati dan memegang kesempurnaannya. Agar nanti kita tidak akan kekurangan penerangan dalam perjalanan menuju ketentraman dimana kita akan menerima warisan keberkahan yang abadi.
Maka tiada lain bagi kita yang masih baru dalam mengenal dan berusaha akrab dengan diri pribadi kita, haruslah melatih diri dengan pekerti luhur, memberi dorongan kepada tujuan yang semestinya. Beruzlah atau Tafakur untuk berusaha membuang (melepaskan) beban sampah dikepala. Berkonsentrasi, kemudian mencurahkan segenap cipta kearah sasaran yang sering kita sebut RUPA SEJATI, sebagaimana kita semua saksikan. Hendaklah hal demikian (tafakur) itu dilakukan dengan rutin dan dengan penuh kesungguhan dalam melewati fase-fase untuk mencapai tafakur sempurna yang penuh dengan kenikmatan. Karena telah mampu mengalahkan diri sendiri dari tabiat-tabiatnya kearah negatif (Nafsu rendah) dan membawa ke dalam pimpinan yang telah disinari Cahaya Keluhuran (Cahaya Nur Muhammad-Guru Sejati). Sebagaimana yang diterangkan dalam Al Qur’an, bahwa dalam diri setiap manusia ada rasul (Guru sejati-Rasajati) yang harus dijadikan panutan.

“Ketahuilah bahwa pada engkau ada Rasul Allah, Dia dalam banyak urusan selalu mengikuti engkau, tetapi jika engkau tidak mengikuti dia tentulah engkau akan mendapat kesusahan, maka Allah menjadikan engkau Cinta kepada keimanan dan menjadikan Iman suatu hiasan dalam hatimu, dan menjadikan engkau benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Yang demikian itulah orang-orang yang mengikuti Jalan lurus.” (QS. Al Hujarat , 49 ayat 7 )

“Maka berimanlah engkau kepada Allah dan Rasulnya yaitu CAHAYA yang telah kami turunkan, dan Allah maha mengetahui apa yang engkau kerjakan.” (QS. At Taqhabun, 64 ayat 8)

“Orang-orang yang beriman itu hatinya menjadi tentram/senang dikarenakan senantiasa ingat kepada Allah. Ketahuilah, karena selalu ingat kepada Allah, manusia itu pada merasa senang.” (QS. Ar Raad, 13 ayat 28)

Untuk itulah, bagi para penempuh jalan spiritual harus terus-menerus istiqomah memperbaiki diri, meningkatkan kadar pencerahan ruhani kita agar evolusi ruhani kita semakin maju ketingkat/maqam yang lebih baik, dari hari kehari. Sehingga kita tidak mengalami stagnasi/berhenti ditempat atau bahkan mundur dan melupakan amanat yang telah diberikan, yaitu Cahaya yang ada pada diri kita masing-masing.
Salah satu yang harus diusahakan oleh kita adalah meningkatkan kemampuan sifat 20 yang dimiliki oleh Ruhani kita. Guru jati atau Rasa jati yang kita milki akan semakin peka dan sensitif apabila kita semakin sering berlatih, bertafakur, meditasi dan sering melakukan Laku Mi’raj. Guru jati yang didiami oleh sifat Allah antara lain sifat Ilmu dan bashar, akan memberikan petunjuk kepada kita terhadap permasalahan yang kita hadapi. Sehingga petunjuk yang kita dapatkan menjadi solusi dan jalan keluar terhadap permasalahan kita.
Dalam bukunya; Jalan menuju Pengsungsian, K.A. Nitiprana menjelaskan bahwa apabila kita tertidur kemampuan dari Jiwa/ruhani kita akan lebih dominan atau bangkit. Hal ini terjadi dikarenakan ruhani kita terlepas dari pengaruh fisik yang selama seharian selalu lebih dominan mempengaruhi hidup keseharian kita. Beliau juga menjelaskan perbedaan antara Mati, Tidur dan Tafakur serta Laku Mi’raj sangat tipis sekali perbedaannya. Perkara Mati, Tidur dan Tafakur (Mi’raj) sama-sama mengalami disfungsi pengaruh fisik. Mulai dari panca indra dan fungsi fa’al dalam diri kita. Perbedaan yang mencolok hanya pada proses mengalami SADAR atau tidak SADAR saat melepaskan pengaruh fisik dan fa’al pada diri kita.
Bila pengaruh fisik kita melemah, secara otomatis pengaruh ruhani kita akan menguat. Pengaruh ruhani inilah yang sering disebut dengan kemampuan Sifat 20. K.A. Nitiprana menggolongkan, ada sekitar 8 kemampuan/sifat yang muncul saat ruhani kita bangkit. Sifat ini adalah 8 dari 20 sifat yang kita kenal dalam pembahasan sifat 20. Sifat itu adalah sebagai berikut :

1. Wujud (sifat 1)
2. Baqa (kekal-sifat 3)
3. Mukhalafah lil Hawadis (Tidak ada sama dengan apapun-sifat 4)
4. Iradat (Kehendak/karsa-sifat 8)
5. Hayat (Hidup-sifat 10)
6. Sama’ (Mendengar-sifat 11)
7. Bashar (Melihat-sifat 12)
8. Qalam (Bersabda-sifat 13)

Inilah kemampuan/sifat yang harus terus dipupuk sehingga semakin peka dan sensitif. Sehingga kita bisa untuk selalu ingat, Sabar dan Waspada terhadap segala ketentuan yang Allah tetapkan.

Dalam pandangan para Wali tanah Jawa, Roh manusia itu mengandung sifat dua puluh. Jadi sifat dua puluh hakikatnya diperuntukkan kepada manusia, karena sifat dari Maha Roh tidaklah terbatas, bukan terbatas hanya dua puluh sifat saja. Penjelasan sifat dua puluh menurut para Wali tanah Jawa, dapat dilihat di bawah ini :

Berdasarkan gambar sifat dua puluh tersebut, maka dapat diuraikan dengan penjelasan sebagai berikut :

Sifat dua puluh dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu :
1. Wujud, yang dimasukkan dalam bagian Nafsiah, yang berarti kepribadian yang ditiupkan Allah kepada manusia.

2. Qidam, Baqa, Mukhalafatu lil hawadits, Qiyamuhu bi nafsihi dan Wahdaniyah, yang dimasukkan dalam bagian Salbiyah, yang berarti keterangan dari kepribadian yang ditiupkan Allah kepada manusia.

3. Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar dan Qalam, yang dimasukkan dalam bagian Ma’nawi, yang berarti kemampuan dari kepribadian yang ditiupkan Allah kepada manusia.

4. Qadiran, Muridan, ‘Alimun, Hayum, Sami’an, Bashiran dan Mutaqaliman, yang dimasukkan dalam bagian Ma’nawiyah, yang berarti keistimewaan dari kepribadian yang ditiupkan kepada Allah kepada manusia.

Jadi berdasarkan pembagian sifat dua puluh seperti tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Roh manusia itu ada Wujudnya, yaitu berupa Cahaya Yang Terang Benderang. Hal ini dikarenakan Roh manusia adalah bagian dari Maha Roh ( Allah ) dan kita telah membahas di awal tulisan ini, bahwa hakikat sesungguhnya dari Wujud Allah adalah Cahaya Diatas Cahaya atau Nurun ‘ala Nurin, sehingga Roh manusia yang merupakan bagian dari Maha Roh (Allah), Wujudnyapun adalah Cahaya. Dengan kata lain Roh manusia adalah percikan (emanasi) dari Cahaya Allah.

Dalam doktrin tasawuf, Roh manusia sering disebut dengan istilah Nur Insan, sedangkan Allah sering disebut dengan Nur Allah. Nur Insan adalah percikan dari Nur Allah. Nur Insan (Roh manusia) ini mempunyai empat ciri (salbiyah) yaitu Qidam (tidak berawal dan berakhir), Baqa (kekal), Mukhalafatu lil hawadits (tidak serupa dengan apapun), Qiyamuhu bi nafsihi (bangkit dengan sendirinya), dan Wahdaniyah (tunggal).

Nur Insan (Roh manusia) ini juga mempunyai tujuh kemampuan (ma’nawi) yaitu Qudrat (kuasa), Iradat (kehendak), Ilmu (pengetahuan), Hayat (hidup), Sama’ (mendengar), Bashar (melihat) dan Qalam (berkata).

Kemudian Nur Insan (Roh manusia) mempunyai tujuh keistimewaan (ma’nawiyah) yang diberikan oleh Maha Roh (Allah) yaitu Qadiran (Maha Kuasa), Muridan (Maha Berkehendak), ‘Aliman (Maha Berpengetahuan), Hayum (Maha Hidup), Sami’an (Maha Mendengar), Bashiran (Maha Melihat) dan Mutaqaliman (Maha Berkata).

Keistimewaan tersebut diberikan Allah kepada manusia dengan syarat Roh manusia itu selalu berhubungan kepada-Nya. Keistimewaan ini bersifat “Tanazul tarqi” (turun naik) artinya keistimewaan tersebut hanyalah kehendak Allah semata dan biasanya keistimewaan ini muncul apabila Allah ingin memperlihatkan kekuasaannya kepada para makhluk-Nya.

Keberadaan Roh-Ku dalam jasmani manusia bersifat transenden dan imanen, artinya disatu sisi Roh-Ku tersebut berada dan menyatu dalam jasmani, disisi lain Roh-Ku tersebut berada di luar dan tidak menyatu dengan jasmani manusia. Inilah salah satu kelebihan Roh-Ku yang ditiupkan Allah kepada manusia.

Ketika Roh-Ku ditiupkan ke dalam jasmani maka kedua bangunan itu saling berinteraksi, yang melahirkan kemampuan akal. Kata “Akal” merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu “Iqal” yang berarti ikatan atau belengu. Akal merupakan suatu kemampuan dari tiga unsur ikatan yaitu cipta, rasa dan karsa.
 

Oleh : Kuswanto Abu Irsyad

Rasulullah Saw menegaskan bahwa seseorang yang beribadah / menyembah Allah, seharusnya dirasakan “seakan-akan melihat Tuhan. Lafal hadits itu adalah : “Ihsan, adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat Allah”(HR Muslim dari Umar) Dalam lafal hadits terdapat “Ka-anna” yang terdiri dari dua kata “ka” dan “anna”. Dalam tata bahasa Arab, perkataan “ka” dinamakan “hartfut tamstil” (menunjukan umpama atau contoh). Sedang perkataan “anna” adalah “lit-taukid” (untuk menguatkan), yang dalam bahasa Indonesia umumnya diartikan sesungguhnya. Maka arti yang tepat dari kata “ka-anna” adalah “seperti sesungguh-sungguhnya”. Seorang aktor atau aktris yang baik, harus mampu menunjukan permainannya seperti sungguhan sesuai dengan peran yang dimainkannya. Expresi wajah / mimik, vokal, lagu dan lain-lain harus cenderung kepada keadaan yang sebenarnya.

Maka setiap melakukan ibadah khususnya pada waktu sholat, bila tidak disertai perasaan, “seperti sungguh-sungguh” melihat Tuhan, maka ibadah itu tidak tergolong dalam katagori ibadah yang ihsan (baik). Allah SWT. berfirman :

“Sesungguhnya sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45)

Dikalangan umat Islam terdapat beberapa pendapat tentang “melihat Tuhan” yang dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Dapat melihat Tuhan di akhirat

2. Tidak dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat

3. Dapat melihat Tuhan di dunia dengan mata hati, sedang di akhirat dengan lebih nyata.

Seluruh Ulama di kalangan Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah sepakat bahwa semua orang mukmin akan melihat Allah SWT. di akhirat kelak dengan berpedoman pada firman Allah :

“Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri karena memandang kepada Tuhan-Nya”. (QS. Al-Qiyamah : 22-23).

“Untuk orang yang berbuat baik dengan perbuatan yang terbaik, mendapatkan tambahan (melihat TuhanNya)”. (QS. Yunus 10 : 26).

“Ketahuilah, sesungguhnya mereka pada hari itu terdinding untuk memandang Tuhan-Nya” (QS Al-Muthaffifin 83 : 15).

Nabi Muhammad juga pernah bersabda mengenai masalah melihat Allah : “Dari Abi Hurairah r.a, sesungguhnya orang-orang (Para Sahabat) bertanya : Ya Rosulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat ? Maka Rasulullah menjawab : “Sulitkan kamu melihat bulan di malam bulan purnama ? Para sahabat menjawab : Tidak ya Rasulullah. Rasulullah berkata lagi : “Apakah kamu sulit melihat matahari diwaktu tanpa awan ?”Para sahabat menjawab : Tidak ya Rasulullah. Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti itu”. ( HR Bukhari dari Abu Hurairah )

Syeikh Rabi r.a berkata : Saya telah mendengar Imam Syafi’i berkata : “Kami tahu tentang itu (melihat Tuhan) bahwa ada golongan yang tidak terdinding memandang kepada-Nya, mereka tidak bergerombol melihat-Nya”. “Sesungguhnya kedudukan sorga yang paling rendah ialah penghuni sorga yang melihat sorganya, isterinya, pembantunya dan pelaminannya dari jarak perjalanan seribu tahun. Dan penghuni sorga yang paling mulia diantara mereka ialah yang melihat Allah setiap pagi dan petang. Di hari itu penuh ceria memandang TuhanNya”. ( HR Turmudzi dari Stuwair r.‘a diterima beliau dari Ibnu ‘Umar r.a )

Adapun golongan Mu’tazilah meyakini bahwa mustahil untuk dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat dengan berpedoman pada firman Allah : “Tidak ada mata yang dapat melihat Tuhan, tetapi Tuhan dapat melihat mata” (QS Al An’am 6 : 103 )

Demikian pula dengan ayat 22-23 Al-Qiyamah, perkataan n a z h i r a h (melihat) mereka artikan dengan menunggu. Mereka sama sekali tidak menghiraukan apa yang terdapat pada Hadits-hadits Rasulullah SAW. Zamakhsyari, seorang Ulama tafsir di kalangan Mu’tazilah hanya menyatakan “mustahil dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat” tanpa memberikan penjelasan dan dasar alasan yang lebih meyakinkan. Syeikh ‘Allamah Al-Qori menyindir golongan Mu’tazilah dengan Syi’irnya:

Orang Mukmin melihat Tuhannya,

tanpa bentuk tanpa umpama,

nikmat lain tiada arti,

dibanding melihat Ilahi Rabbi,

kaum Mu’tazilah rugi seribu rugi...

Di kalangan Al-Asy’ari (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) masih dipertanyakan, apakah melihat Tuhan hanya khusus di akhirat saja ?. Dalam membahas hal tersebut terdapat dua pendapat :

1. Melihat Tuhan hanya di akhirat saja.

2. Melihat Tuhan hanya bukan di akhirat saja tetapi juga dapat melihat Tuhan selagi di dunia ini, yaitu dengan “mata batin” (bashirah).

Kedua pendapat tersebut didasari dengan alasan : bahwa Rasulullah SAW pada waktu melakukan Isra Mi’raj benar-benar melihat Tuhan, sehingga Sayidina Hasan bin ‘Ali r.a berani bersumpah sewaktu menerangkan hal itu. Demikian pula dengan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbas r.a, yang oleh Imam Nawawi disimpulkan: “Kesimpulannya, Sesungguhnya rajih (alasan kuat) menurut sebagian Ulama bahwa Rasulullah SAW. melihat Tuhannya dengan nyata / mata, pada malam Isra berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas dan lain-lain”.

Menurut Syeikh Ibnu Hajar Haitami tentang Rasulullah melihat Tuhan di malam Isra : “Dikalangan Ahlus Sunnah telah terjadi kesepakatan tentang masalah Rasulullah melihat Tuhan di malam Mi’raj dengan nyata / mata”. Para Auliya mendapat karunia Allah melihat Allah dengan mata batinnya, sebagai suatu “Karomah” untuk mereka, seperti juga mukjizat untuk Rasulullah SAW.

Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengakui hal itu, dan Ulama Shufi umumnya mengemukakan : “Apabila ruhaniyah dapat menguasai basyariyah (fisik) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin. Mata tidak akan melihat, kecuali hanya dengan pengertian-pengertian yang terlihat oleh mata batin” Pengertian “ruhaniyah dapat menguasai basyariyat” dapat diambil misal, seorang yang sangat takut dengan hantu. Rasa takut tersebut akan sangat mempengaruhi jiwanya, sehingga apabila ia berjalan pada malam hari, kemudian tiba-tiba ia melihat pohon atau daun pisang yang bergerak tertiup angin, maka ia akan berlari ketakutan karena dikiranya hal itu adalah sosok hantu yang menakutkan.

Bisa juga terjadi melihat Tuhan di dalam mimpi. Dalam kitab Sirajut-Tholibin disebutkan : “Adapun di dalam tidur, sepakat sebagian besar Ulama Shufi kemungkinan terjadi melihat Tuhan”. Dikalangan ulama Shufi terdapat keyakinan bahwa “melihat Tuhan bisa terjadi dengan pandangan mata batin yang mendapat n u r dari Allah SWT, yang oleh Syeikh Junaid disebut Nurul Imtinan.

Syeikh Junaid terkenal sebagai seorang yang amat waro’ (tekun ibadat), seorang Waliyullah, seorang Shufi besar pada zamannya, yang tetap teguh memegang syariat. Banyak sekali tokoh-tokoh Shufi besar adalah murid-murid beliau. Antara lain, Abu ‘Ali Ad-Daqaq, Abu Bakar Al-Atthar, Al-Jurairi, ‘Athowi dan lain-lain. Diceritakan saat beliau mendekati akhir hayatnya, secara terus menerus mendirikan sembahyang dan membaca Al-Qur’an. Beliau wafat pada hari Jum’at tahun 297 Hijriyah, setelah selesai membaca ayat ke 70 Surat. Al-Baqarah.

Sehubungan dengan ucapan beliau tentang Tuhan, murid beliau bertanya :“Ya Abal Qosim, apakah engkau dapat melihat Tuhan pada waktu engkau menyembah-Nya ? Beliau menjawab : “Kami (Para Arif) tidak akan menyembah-Nya bila kami tidak melihat-Nya. Kami juga tidak akan bertasbih untuk-Nya bila kami tidak mengenal-Nya”. Kesimpulannya adalah, bahwa melihat Tuhan di dunia sepanjang pendapat para ‘Arif bila bisa saja terjadi, dengan Nur Mukhasyafah.

Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah, bahwa yang dimaksud dengan “melihat” bukan berarti melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warnanya dari Zat Tuhan), yang mereka istilahkan “bi ghoiri kaifin wa hashrin wa dhorbin min mistalin”. Selain itu mereka pun mengakui bahwa penglihatan kelak diakhirat jauh lebih jelas dan lebih nyata dibanding apa yang mereka lihat di dunia sekarang. “

Imam Qurthuby berkata : “Melihat Allah SWT di dunia (dengan mata hati) dapat diterima akal. Kalau sekiranya tidak bisa, tentulah permintaan Nabi Musa a.s. untuk bisa melihat Tuhan adalah hal yang mustahil. Tidak mungkin seorang Nabi tidak mengerti apa yang boleh dan dan apa yang tidak boleh bagi Allah. Bahkan (seandainya) Nabi Musa tidak meminta, hal ini bisa terjadi dan bukan mustahil”.(Al-Jami’ul Ahkamul-Qur’an) “

Dan firman Allah : “Tatkala Tuhan tajalli / tampak nyata pada gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur” Maka apabila Allah bisa tajalli pada gunung, padahal gunung itu adalah benda padat, kenapa tidak mungkin Allah “tajalli” pada Rasul-Rasul-Nya dan Wali-WaliNya ?” (Kawasyiful-Jilliyah).

Berbicara tentang permohonan Nabi Musa a.s. untuk bisa melihat Allah SWT. Sebaiknya kita perhatikan dahulu firman Allah :

“Dan tatkala Musa datang untuk bermunajat pada waktu yang kami tentukan, dan Tuhan-Nya berbicara kepadanya, maka Musa berkata : Ya Tuhanku, nampakkan (Dirimu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. “Tuhan berfirman: “Kamu tidak akan dapat melihat-Ku, tetapi lihatlah bukit itu, bila bukit itu tetap di tempatnya (seperti semula) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhan tajalli / tampak pada bukit itu, kejadian itu menyebabkan bukit itu hancur dan Musapun pingsan. Setelah Musa sadar kembali dia berkata : “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang pertama yang beriman”. (QS. Al-Araf 7 : 143)

Dalam ayat ini terdapat kata-kata yang perlu di kaji lebih dalam yaitu :

1.Tidak akan melihat Aku

2.Tuhan tajalli pada gunung / bukit.

3.Bukit / gunung hancur, dan

4.Musa a.s pingsan.

Tidak akan melihat Aku, suatu pernyataan dari Allah, bahwa bagaimanapun juga mata kepala yang berbentuk bundar yang terletak pada rongga mata dengan daya lihatnya, tidak akan bisa melihat Tuhan. Tetapi tidak berarti menutup kemungkinan untuk dilihat dengan mata hati. Bila mata hati itu dilengkapi oleh Allah dengan Nur-Nya yang kemudian disebut dengan “nurul bashirah” (Cahaya pandangan batin) dan kemudian terdapat pancaran dan nyala pandangan batin yang disebut (bashar) yang kemudian mata kepala sama sekali tidak berfungsi termasuk tidak berfungsinya daya pikir dan seluruh kemampuan fisikal (jasmani) yang oleh orang Shufi digambarkan dengan “fana-dzauqy”, maka pada kondisi itulah terjadinya melihat Tuhan.

Ibnu Taimiyah berkata : “Banyak orang-orang Shufi berkata : “ Aku melihat Allah’. Diceritakan orang tentang ucapan Ja’far bin Muhammad (As-Shadiq) ketika beliau ditanya : “Apakah anda melihat Allah ?” Ja’far menjawab “Aku melihat Allah dan akupun menyembah-Nya”. Si penanya berkata lagi : Bagaimana anda melihat-Nya ?” Beliau menjawab : Tidak mungkin mata kepala dapat melihat-Nya dengan keterbatasannya itu, tetapi Tuhan dapat dilihat dengan mata hati yang Haqqul Yaqin (keyakinan sebenarnya)”

Tafsir Imam Qurthuby sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah tersebut. Tuhan tajalli pada gunung / bukit, bukanlah berarti “Allah menampakan diri-Nya mengambil tempat pada bukit / gunung. Allah Yang Maha Esa, Maha Meliputi, mustahil bagi-Nya menempati ruang dan tempat dalam insidentil atau permanen.

Saidina ‘Ali berkata : “Allah tidak bertempat, dialah yang mencipatakan waktu dan tempat”. (Alqozhul Himam) Pengertian tajali menurut pandangan Shufi / ‘Arif Billah adalah:

DIA MENAMPAKKAN DIRINYA SENDIRI TANPA ADANYA YANG LAIN DARI DIA, DENGAN KESEMPURNAAN SIFAT-SIFATNYA, NURNYA, YANG LAISA KAMISTLIHI SYAI’UN.

Laisa kamistlihi syai’un tidak ada sesuatu dan satu pun yang seumpama / menyamai-Nya,- tiada pena yang dapat melukiskan dan tak ada kata yang dapat diucapkan, tak ada pula huruf yang dapat dirangkai.

Tajalli Allah pada gunung, merupakan isyarat bahwa Allah bisa saja bertajalli pada benda apapun juga, lebih-lebih kepada Rasul / Nabi-Nabi dan para Wali-Nya atau kepada siapun yang Ia kehendaki. Apabila Allah tajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka Allah akui bahwa tangan, kaki, mata, telinga, hati dan seluruh yang ada pada diri si hamba adalah tangan dan kakinya Allah SWT.

Banyak Hadits yang merupakan dalil dan keterangan yang menguatkan hal itu. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abi Umamah dalam Kitab Al-Kabir : “Hamba-Ku yang selalu merasa dekat pada-Ku dengan melaksanakan amalan-amalan nawafil / sunnat / tambahan, sehingga Aku mencintainya. Akulah yang jadi pendengarannya yang dengan itu ia mendengar, Akulah yang jadi matanya yang dengan itu dia melihat, Akulah yang menjadi lidahnya yang dengan itu ia bicara, Aku pula yang menjadi hatinya yang dengan itu ia bercita-cita. Bila ia meminta / memohon kepada-Ku, Aku perkenankan doanya, dan bila ia meminta tolong kepada-Ku, Aku tolong dia. Aku amat suka kepada hamba-Ku yang mempersembahkan ibadahnya kepada-Ku dengan penuh keikhlasan” (HR. Thobrani dari Umamah r.a.).

Untuk mencapai tajalli, harus melalui beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan dan ketekunan, jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Pada teori lain diistilahkan; takhalli, tahalli, seterusnya sampai tajalli. Takhalli berarti pengosongan dari segala sifat-sifat yang tercela. Kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji, disebut Tahalli. Jadi tahalli adalah pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan menghiasinya dengan hanya semata-mata “dzikirullah”.

Pengosongan dalam arti “fana segala yang fana” akan menyebabkan hati dan pikir itu pun menjadi fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Dalam Istilah kitab kuning hal itu disebut dengan : “rasa yang tiada berasa”. Semua sudah terbentang, semua sudah jelas, semua sudah nyata, maka itulah “mukasyafah”.

Disitulah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa yang sedang pingsan dan gunung yang hancur berantakan. Musa a. s. tidak mampu untuk berbicara, mana Musa ? Mana gunung ? Mana Tuhan ?, akhirnya seperti apa yang dikatakan oleh Syeikh Junaid “Hakikat Tauhid (sebenar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya: kenapa dan bagaimana”. Allah berfirman:

“Segala sesuatu hilang sirna/hancur tiada arti, kecuali wajah-Nya / Zat-Nya (QS. Al-Qashas 28 : 88)

“semua pasti lenyap sirna, sedang yang kekal abadi hanya wajah Tuhanmu Yang Maha memiliki kebesaran dan kemuliaan” (QS. Rahman 55 : 26-27)

“Apa yang ada padamu akan hancur, dan apa yang ada pada Allah kekal abadi” (S. An-Nahl 16 : 96)

Disinilah makna hancurnya gunung dan pingsannya Musa a.s. Seorang yang berjiwa Shufi, bila merenungkan ayat ini (QS 7 :143) akan bahagia dan meneteskan air mata dan berkata lirih “Betapa bahagia wahai gunung, betapa besar engkau, betapa kerasnya engkau, betapapula tegarnya engkau, wahai gunung batu, namun engkau rela menerima kehancuran, kefanaan, kesirnaan dihadapan Allah. Dikefanaanmu, kau rasakan keindahan dan kenikmatan yang tiada tara....

“Demi Tin, Zaitun, dan orang-orang Thursin dan demi negeri yang aman”. (QS. At-Tin : 1-2)

Diriwayatkan orang, dikala Musa a.s. menceritakan kepada pengikut beliau bahwa beliau akan melakukan dialog dengan Tuhan di daerah perbukitan, lalu masing-masing gunung dan bukit menawarkan dirinya untuk dijadikan tempat pertemuan agung dan dialog tingkat maha tinggi itu. Masing-masing menunjukan penampilan bergengsi seraya berkata : “Akulah gunung terbaik dan paling baik”, “Akulah bukit terindah untuk dipandang”, “Akulah yang paling kokoh dan paling tegar diantara jajaran gunung dan bukit di wilayah ini”. Musa a.s. diam seribu bahasa. Sambil memandang dengan penuh perhatian, mengitari dan menyimak suara dan kata, terlihat oleh beliau hanya ada sebuah bukit yang tidak mengeluarkan sepatah kata juapun. Itulah si bukit Sinai (THURSIN). Musa a.s. mendatangi si bukit itu seraya bertanya : Wahai bukit kenapa tiada kata dan suaramu seperti temanmu yang lain ? “Bukit itu menjawab : “Wahai tuanku, Aku mengaku bahwa engkau adalah utusan Allah. Akupun malu untuk bicara. Akupun merasa kerendahan diriku dihadapan Allah. Namun demikian, jika sekiranya Allah berkenan, Aku tentu menyampaikan puji syukurku yang tiada terhingga kehadirat Allah”. Akhirnya, si THURSIN inilah yang mendapat anugerah. Si bukit yang tidak mempunyai kesombongan dan tidak mengagung-agungkan dirinya. Si bukit yang merasa kefanaan dirinya di hadapan Allah. Bukit yang mendapatkan kehormatan dicantumkan namanya di dalam Al-Qur’an.

Adakah makna yang tersembunyi dibalik pengertian bukit yang bernama THURSIN ? Adakah hal-hal yang metaporis dari kenyataan yang terjadi sebenarnya ?. Bukankah Al-Qur’an penuh dengan amtsal dan ibarat ?. Salahkan bila ada yang hendak berimajinasi merenungkan makna hakiki atas bukit yang berbahagia itu sepanjang tidak menyalahi dan bertentangan dengan itikad keimanan yang hak dan benar ? Tentu di dalam diri ini akan menjawab “tidak”. Ini imajinair. Bukan tafsir yang mempunyai kekuatan arti hukum dan hujjah.

Dalam Surat At-Tin, Allah bersumpah atas nama makhluknya, tiga benda yang ditonjolkan adalah Tin, Zaitun, Thursin yang dibawa dengan “Waw lil-qosam” (huruf waw untuk kata sumpah). Sebagian Ulama Tafsir menyebutnya “waw lit-tanbih” (waw untuk diperhatikan). Buah Tin bila diperas, berintikan minyak sebagai bahan pokok minyak wangi. Demikian pula buah Zaitun jika diperas, berintikan sari minyak untuk bahan makanan.

Di dalam masyarakat kita terdapat sebuah perumpamaan tentang buah kelapa : “tempurung adalah syariat, daging kelapa adalah thariqat, bila dikukur/diparut lalu diperas menjadi santan yaitu hakikat, santan dimasak jadi minyak, ialah makrifat. Bukit THURSIN (Tursina) sebuah bukit di padang pasir. Dari segi bahasa berarti “Puncak Sin”.

Thur artinya puncak, dan sin adalah sin. Siapakah Sin ? “Ya Sin (Wahai Sin = manusia).

"Demi Qur’an yang penuh hikmat. Sesungguhnya engkau (Wahai Sin) adalah seorang Rasul”. (QS Ya Sin 36 : 1-5)

Seorang Rasul yang menerima Al-Qur’an adalah Muhammad SAW. Maka panggilan Wahai Sin berarti Wahai Muhammad. Allah Tajalli Di puncak Sin. Bukankah nama Muhammad sudah tertulis di pintu gerbang ‘Arasy ?, Bukankah Nabi Adam memohon ampun dengan wasilah Muhammad ?, bukankah Nabi Musa ‘alaihis-salam pernah berdoa kepada Allah; “Ya Allah andaikata aku hidup di zaman Muhammad , aku bersedia jadi pengikutnya ?, bukankah Muhammad SAW. Adalah RAHMATAN LIL’ALAMIN , alam yang lalu, kini yang akan datang ? (madly wal hadlir wal mustaqbal) Masya Allah ….. betapa mulianya Muhammad di sisi Allah. Tanpa Muhammad tak akan ada rahmat yang dirasakan oleh alam dan isinya. Dalam hadis qudsi Allah berfirman :

“Kalau bukan engkau, kalau bukan engkau (Hai Muhammad) tidak kujadikan semua ini”.

Tidak heran bila Ibnu ‘Araby berkata : “Dia awal kejadian, dia pula akhir kenabian”. Muhammad bukan Tuhan. Bukanpula penjelmaan Tuhan. Dia makhluk yang diciptakan. Tetapi dia awal kejadian :

“Yang mula-mula diciptakan adalah Nur Nabimu Hai Jabir” (Al-Hadits).

Muhammad adalah rahmat bagi alam semesta dan segala isinya. Rahmat selalu ada di mana-mana, waktu lalu, kini dan akan datang. Rahmat datang dari sifat rahmaniyah dan rahimiyah Allah SWT. Sifat tidak berpisah dengan zat.

Di puncak Sin, di sari patinya tin dan zaitun, di sari patinya kelapa itulah dia “baladil amin” (negeri yang aman sentosa). Adakah negeri di muka bumi ini yang benar-benar aman dalam arti hakiki ? Tidak. Tak pernah ada kedamaian hakiki di muka bumi ini. Lalu dimana ? Di sana bukan tempat, di sana bukan ruang, tetapi itulah BALADIL AMIN, itulah dia HADRAT KETUHANAN. “Di sisi Allah Maha Raja Diraja, Maha gagah perkasa“ (Al-Qur’an) Seuntai bait syi’ir yang terasa amat berkesan :

“Sholawat dan salam untuknya,

manusia yang tiada otak bila tidak begitu,

Cahayanya cemerlang,

sumber kejadian segalanya,

lenyap sirna aku dalam Nur-Nya Yang Agung,

tenggelam aku dalam Ke-Esa-an-Mu,

dengan rahasia-Mu, ya Tuhanku yang memiliki kemuliaan,

tiada kata tiada huruf hanya kerinduan”..


Sumber : Pusat Kajian Tasawuf "Nurul Khatami".
 

Oleh :Kuswanto  Abu Irsyad
Memasuki abad global, sekarang ini, kebanyakan manusia cenderung lebih memfokuskan diri untuk memikirkan “HAL KEDUNIAWIAN” ketimbang memikirkan masalah “AGAMA”. Agama hanyalah dianggap sampingan dan dinomor “DUAKAN”. Padahal mereka itu bukannya tidak mengerti dan tidak mengetahui tentang hal tersebut, tetapi kabut tebal masih menyelimuti mata batinnya, mentari semburat polos masih bermalas-malasan terbit dan enggan menghiasi bukit thursinanya. Mereka mengakui dan mengerti bahwa “”HIDUP” didunia ini ada yang “MENGHIDUPKAN”, dan merekapun sadar bahsa ada suatu “KEKUATAN MAHA BESAR” yang mempengaruhi kehidupan mereka, namun kesemuanya itu hanya cukup sebagai “AKUAN” saja.

Begitulah segi kehidupan manusia, walaupun tidak semua manusia berakhlak demikian, namun kebanyakan dari hidup manusia lupa akan membaca “KITABNYA”, hakikat pribadinya, hakikat Tuhannya. Upaya sungguh-sungguh untuk menghayati jati diri (hakikat pribagi), serta melangkahkan kaki untuk menapaki tangga-tangga langit terdekat untuk bermukasyafah, beraudensi dengan Tuhan dianggap pekerjaan yang membuang-buang waktu dan sia-sia, hal ini sudah barang tentu sangat bertentangan dengan firman Allah dan hadist Rasulullah SAW:
“Hai manusia, sesungguhnya kamu harus mengusahakan diri dengan ketekunan yang setekun-tekunnya sehingga sampai kepada Tuhanmu lalu kamu menemui-Nya” (QS Al-Insyiqaaq 84:6).
“Barang siapa yang mengharap untuk menemui Allah, sesungguhnya janji Allah pasti akan datang. Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS Al-Ankabut 29:5).
“Man Arofa Nafsahu Fakod Arofa Robbahu” – “Barang siapa kenal dirinya, maka dia akan kenal Tuhannya” (Hadist Rasulullah).

Kesibukan didalam meraih gemerlapnya dunia telah menutup dirinya, menghijab dirinya, telah menjumudkan pikirannya hingga terjerumus kedalam kesaksian palsu, bukan saksi sejati. Ingatkah peristiwa di alam azaly, dimana terjadi dialog antara Roh kita dengan Maha Roh ketika itu:
“Alastu birabbikum, Balla sahidna!” – “Bukankah Aku ini Tuhanmu, Ya benar saya bersaksi Engkau adalah Tuhanku”.

Sadarkah terhadap kalimat “SYAHADAT” yang telah kita ucapkan? Benarkah kita telah bersaksi selama ini? Apakah Syahadat kita hanya sekedar ucapan tanpa pembuktian?. Terdapat tiga golongan yang ada didalam kehidupan sehari-hari ditengah-tengah masyarakat kita. Tiga golongan tersebut adalah golongan kiri,kanan dan tengah (siratal mustaqim), sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an Surat Al-Waqiah 56:8-11- “Yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu”. “Dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu”. 
Serta surat Al-Fatihah 1:6 – “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
1. Golongan kiri
Golongan kiri adalah suatu golongan yang ditandai dengan suasana kehidupan serba gemerlap. Kehidupan manusia yang materiallistik, penuh sandiwara. Babak demi babak hidup dan kehidupannya habis untuk mengais-ais dunia. Kesuksesan, keberhasilan di dalam meraih dunia telah melemparkan mereka kedalam sifat angkuh, tinggi diri, gila hormat, mengejar pangkat dan jabatan dengan berbagai macam jalan. Mereka bangga atas semua itu.

Dengan merasa diri telah cukup terhadap kepentingan hidupnya, tercapai segala kehendaknya, hingga ia lupa segala-galanya. Sementara Tuhan sebagai satu-satunya sumber kehidupan hanya dijadikan “SESEMBAHAN” ritual serimonial belaka. Rangkaian ibadah ditujukan hanya mencari sensasi dan penghormatan semata. Gerak langkah kehidupannya masih bersifat lahiriah dan puncak ibadahnya masih menyembah kira-kira. Firman Allah:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain permainan dan senda gurau belaka, dan sesungguhnya kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang bertaqwa, maka apakah manusia tidak memahaminya?” (QS Al-Ankabut 29:64).

Disamping itu merekapun kurang cermat didalam mengaktualisasikan Sabda Rasulullah SAW: “Carilah harta dunia seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya. Dan beribadahlah engkau seolah-olah akan mati esok hari”. Begitulah bagi manusia-manusia yang telah tertutup mata hatinya oleh kesenangan dunia, lupa bahwa dirinya akan mati, lupa bahwa hasil usaha yang tak mengenal waktu itu akan ia tinggalkan.

2. Golongan kanan
Golongan kanan adalah golongan yang ditandai dengan kehidupan religius dan telah banyak dipraktekan ditengah masyarakat kita, namun demikian aktualisasinya justru banyak yang kurang sempurna. Kebanyakan manusia telah terjebak terhadap aturan-aturan yang rumit didalam rangka mencari Tuhannya. Fanatik terhadap mazhab, golongan, aliran serta atribut-atribut yang menjadi kebanggaan justru banyak ditonjolkan serta lebih dikedepankan. 

Sarana dan prasarana sebagai jalan untuk menuju Tuhan senantiasa diperdebatkan. Yang satu mengklaim bahwa dirinya yang paling benar, sedang yang lain menuding itu tidak benar. Debat seru menyoal sarana prasarana hanyalah membuang-buang energi, dan pada gilirannya nanti justru akan menghambat, mengaburkan esensi Tuhan itu sendiri. 

Menyembah kepada Allah ditujukan untuk meraih pahala dan surga semata, sementara tujuan yang hendak dicapai adalah utamanya, bukan sarana prasarananya, pahala dan surga, kita mesti mencari yang punya surga. Firman Allah: 
QS Al-Mu’minun 23:52 – “Sesungguhnya Agama Tauhid adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertaqwalah kepada-Ku”. 
QS Ali Imran 3:132 – “Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat”.

Al-Qur’an diatas menisyaratkan agar kita senantiasa berpegang teguh kepada Agama Tauhid (Addin sejati), berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadist. Selanjutnya mengikuti jejak Rasulullah SAW untuk melaksanakan kehidupan yang religius spiritual, serta menjauhkan diri dari pertengkaran ditengah perjalanan.

3. Golongan tengah (Jalan Lurus)
Golongan tengah adalah golongan yang ditandai dengan kehidupan mempercayai “Wahdatul Wujud” menuju kepada pembuktian (Isbatul Yakin), juga telah dipraktekkan di bumi persada ini. Aktifitas dan agenda harianpun telah terisi penuh dengan usaha-usaha mendekatkan diri kepada Allah.

Konsep keseimbangan antara menggapai dunia dengan meraih tangga-tangga langit telah diupayakan sedemikian rupa. Dorongan dan iradah untuk menyibak awan, meraih bintang menggapai bulanpun telah dicobanya. Namun pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat keterbiasaan mengkaji ilmu syareat menyebabkan kita menjadi bingung untuk melangkah saat mengkaji ilmu ma’rifat. Kita sepertinya berada ditengah keragu-raguan. Para penempuh perjalanan rohani (bertasawuf) hendaklah menghindari sikap yang demikian

Kita dituntut untuk bersikap jujur dan bukan mencari kesalahan, bukan pula caci-makian, bukan juga merasa dirinya yang paling benar. Kita perlu berusaha membuka tutup tabir yang selalu menyelimuti/menghijab dirinya. Bagi perjalanan tasawuf hendaklah berusaha untuk mencapai tujuan kepada Tuhan, bukan mencari surga atau neraka. Bukan pula untuk bertengkar didalam perjalanan. Dan tidak terpaku dengan titik koma bacaan dan tulisan. Tuhan tidak ada didalam bacaan dan tulisan. Tuhan berada pada yang membaca dan yang menulis, apabila pelakunya mengerti tentang Tuan, suatu tanda untuk sampai ke tujuan.

Disamping itu sikap yang ada selama ini atas penilaian bahwa Allah Maha Ghaib, hendaklah berangsur-angsur kita tingkatkan menjadi Allah Maha Pasti, Dia Maha Besar, Maha Halus dan Maha Esa dan Dia pula yang berada pada setiap makhluk ciptaannya. Para penempuh perjalanan dengan bertasawuf untuk tingkat pemula pada umumnya sering mengalami kesulitan didalam menterjemahkan ayat-ayat mutasyabihat/ma’rifat (makiyah). 

Hal ini sangatlah wajar sebagaimana telah digambarkan dalam Al-Qur’an:
“Dialah yang menurunkan Al-Qur’an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat yang “Mukhamat” dan yang lain “Mutasyabihat”. Maka adapun orang-orang yang hatinya cenderung kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang Mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang dalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada yang mutasyabihat semua itu dari sisi Tuhan kami”. (QS Ali Imran 3:7)
“Tidak seorang manusia dapat menerima rahasia Tuhan, kecuali dengan wahyu (ilham) atau dibalik tabir, atau diutusnya Utusan, lalu dengan izin-Nya diwahyukannya tentang apa-apa yang dikehendaki-Nya”. (QS Asy-Syura 42:51).

Menterjemahkan ayat-ayat/ma’rifat, mutasyabihat dan pencarian terhadap Tuhan terkadang masih membingungkan bagi orang yang sedang bertasawuf tingkat pemula. Berbagai ragam pertanyaan yang senantiasa muncul dibenak mereka perihal siapakah Tuhan, dimanakah keberadaan Tuhan, benarkah Tuhan dapat ditemui, dan bermacam-macam istilah lain yang sering dijumpai dalam bertasawuf sangat mempengaruhi dalam berpikiran. 

Beberapa masalah yang berkaitan dengan Tuhan yang sering kita ketahui diantaranya:
“Allah adalah Cahaya diatas Cahaya” (QS An-Nur 24:35)
“Allah itu Esa” (QS Al-Baqarah 2:163)
“Allah itu tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” (QS Asy-Syuura 42:11)
“…Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat” (QS Thoha 20:46)

kebimbangan dan keraguan akibat tidak terjawabnya permasalahan diatas, maka tumpukan permasalahan itu menjadi “nyampah” di bukit thursinanya. Hal ini bila kita biarkan terus menerus akan mempengaruhi pencerahan rohani kita. Dihalaman muka telah disinggung tentang adanya kekuatan Yang Maha Besar mempengaruhi kehidupan kita. Kekuatan Yang Maha Besar itulah yang sering kita sebut sebagai Tuhan, Allah Azza Wajalla.

Untuk mempermudah memecahkan masalah Ketuhanan, baiklah kita menelaah hal-hal yang biasa sehari-hari ada disekitar kita dan juga sering kita temui:
1. Sebuah Hitungan (Ilmu Pasti) Sebagai Perumpamaan
Telah kita ketahui bersama bahwa angka itu terdiri dari angka Nol (0) sampai angka sembilan (9). angka Nol (0) adalah merupakan angka yang paling terkecil. Sedangkan angka sembilan (9) adalah merupakan angka yang terbesar. Angka Nol (0) berarti “kosong” atau “nihil” atau “tidak ada”. Namun kenyatannya wujudnya ada, dan angka ini tidak bisa dibuang begitu saja meskipun mempunyai makna “kosong”. Tetapi pada prakteknya angka Nol (0) sesungguhnya mempunyai makna yang “sangat besar” nilainya. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan angka yang lain.
Sebagai contoh:
Dalam angka 1000 angka ini terdiri dari angka satu (1) ditambah dengan angka Nol (0) tiga buah dibelakangnya. Tetapi bila angka Nol (0) yang terakhir itu kita buang, hasilnya: nilai dari 1000 kini hanya tinggal 100. Ini berarti sebuah angka Nol (0) yang dihilangkan tadi nilainya adalah 900 yaitu 1000 –100 (seribu dikurangi 100).
Dari kenyataan yang ada, maka dapatlah disimpulkan: angka Nol (0) itu berdiri sendiri artinya “tidak tampak” atau “tidak ada” alias “kosong” tapi pada kenyataannya “ada dan berwujud”. Dan bila angka Nol (0) itu sebagai pembanding dari suatu rangkaian angka-angka, maka nilai Nol (0) itu adalah lebih besar dari nilai yang ada. Nol (0) ditulis dalam bentuk lingkaran-lingkaran yang sempurna. Dalam lingkaran itu titik awal bertemu dengan titik akhir. Nol (0) merupakan angka “kasunyatan”, angka kebenaran, angka yang absolut. Angka sempurna yang tidak dapat dinilai lagi, karena memang nilainya tidak terhingga. Itulah Allah.

2. Matahari Sebagai Perumpamaan
Kita perhatikan keadaan alam yang ada disekeliling kita, dan kita ambil “matahari” sebagai contoh perumpamaan. Matahari adalah sebagai “sumber Cahaya” yang memberikan penerangan kepada alam sekitarnya. Ketika kedudukan matahai persis diubun-ubun langit, dengan cahayanya yang memancar tanpa terhalang awan sedikitpun, ambillah beberapa gelas yang telah diisi air putih. Letakkan gelas tersebut ditengah-tengah pelataran rumah kita.

Kenyataan yang terjadi adalah bayangan matahari terlihat ada didalam gelas tersebut sesuai dengan jumlah gelas yang tersedia. Kita tambah lagi gelas yang telah diisi air putih pula dan letakkan gelas itu ditempat yang sama secara berjauhan, maka bayangan matahari juga akan muncul di gelas tersebut.

Sedangkan kita mengetahui dan meyakini bahwa matahari itu hanyalah satu. Andaikan gelas yang ada itu kita pecahkan, kemudian air putih yang ada dalam gelas tersebut tumpah ke tanah lapangan, maka kini muncul pertanyaan kemana perginya matahari yang berada digelas tersebut?

Sebagaimana diatas bahwa cahaya adalah sifat dari matahari yang mengakibatkan adanya bayangan dari matahari itu sendiri. Maka bila seandainya air yang berada dalam gelas itu “keruh” maka bayangannyapun akan “buram”, bila airnya bergoyang, maka bayangannyapun akan beriak-riak, tetapi bila airnya “tenang dan jernih”, maka bayangannyapun akan “tampak nyata”.

Hal ini tak bedanya dengan manusia dan sifat Allah. Bila qalbu (batin)nya gelap, maka akan gelap pulalah pengetahuannya terhadap sifat Tuhannya, terkadang hilang pulalah kepercayaan kepada Tuhan dan tidak mempercayai akan kekuasaan Tuhan. Bila batinnya goyang (ragu-ragu) maka akan jadilah manusia yang meragukan akan sifat-sifat Tuhan dan kekuasaan-Nya. Tetapi sebaliknya, bila batinnya mantap, hatinya bersih dan jernih, iman dan keyakinannya kuat, maka segala sifat yang dikehendaki Tuhanpun akan tampak nyata dan berbekas dalam jiwanya. Manusia seperti inilah yang mempunyai ketenangan jiwa, mempunyai nafsu mutmainah dalam dirinya, hidup dengan penuh gairah dan semangat, tak mengenal putus asa.

Sifat Tuhan melingkupi segala hasil ciptaan-Nya, seperti sifat matahari yaitu “Cahaya” yang menerangi semua gelas yang berisi air berapapun jumlahnya, semua akan kena sinarnya dan seluruhnya akan mendapat bayangannya. Dalam kehidupan manusiapun tak ada bedanya. Manusia seluruhnya diliputi oleh sifat si “Penciptanya”, dan sebagai bayangan si “mataharinya”. Bukan bayangan Tuhannya, melainkan “zat hidup ciptaan Tuhan” yang terdapat didalam tubuh setiap umat-Nya. Dan bila si tubuh itu telah hancur maka “zat hidupnya” itupun akan kembali kepada di “Penciptanya” yaitu Allah.


Sumber : Pusat Kajian Tasawuf "Nurul Khatami"
 
 
Oleh : Abu Irsyad

Seluruh umat manusia di muka bumi ini telah menyadari bahwa ada Satu Kekuatan Yang Maha Besar, yang telah menciptakan, mengatur dan memelihara Alam semesta ini beserta segala isinya. Tetapi sayangnya, keyakinan itu tidak diteruskan dengan upaya untuk membuktikan sekaligus mengenal kepada Keberadaan Dzat yang mempunyai Kekuatan Yang Maha Besar tersebut, sehingga pada akhirnya keyakinan akan adanya Sang Maha Pencipta itu, hanya sekedar menjadi kepercayaan yang bersifat “lipstick” atau sebatas di mulut saja, tanpa mengakar di dalam Rohani dan aktivitas kehidupan umat manusia.

“Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya….,” (QS Al Hajj 22 : 74)

“….. kecuali hanya menyembah Asma-Nya yang kamu dan nenek moyangmu kamu buat-buat….” (QS Yusuf 12 : 40 ).

“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya sebatas huruf atau tulisan … “. ( QS Al Hajj 22 : 11 )

Ketika terlahir di atas dunia, kita sudah dihadapkan oleh nilai-nilai kemasyarakatan, agama, dan moral yang mau tidak mau kita telah berada di dalamnya dan kita dituntut untuk mengambil sikap, apakah sikap menerima, menolak ataupun sikap netral terhadap nilai-nilai tersebut. Tetapi harus diingat, bahwa kita terlahir di atas dunia ini sebagai salah satu dari suku atau ras bangsa tertentu yang ada di dunia ini, yang yang menentukannya adalah bukan diri kita sendiri. Begitu pula tentang kelahiran kita sebagai seorang anak bayi di dalam sebuah keluarga, apakah keluarga itu beragama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha ataupun sebuah keluarga yang tidak beragama, proses itu semuanya yang menentukan bukan diri kita sendiri. Setelah kita lahir dan menginjak usia akhil baligh barulah kita secara perlahan-lahan menyadari bahwa kita telah ditakdirkan menjadi apakah itu orang Eropa, Asia, Amerika, Australia atau orang Afrika. Begitu pula dengan agama orang tua kita. Dan biasanya, orang tua kita berusaha untuk menanamkan nilai-nilai agama yang dianutnya kepada kita (anaknya) sendini mungkin, sehingga secara sadar ataupun tidak sadar kita telah memeluk agama yang dianut oleh orang tua kita. Inilah yang disebut bahwa kita beragama karena keturunan.

Setelah menginjak dewasa, barulah kita menggunakan akal dan kehendak yang merdeka untuk mencermati kembali agama yang kita anut sejak kecil, sehingga saat itulah kita memulai proses pencarian terhadap kebenaran yang Absolut. Tetapi sayangnya, sebagian besar manusia sudah puas dengan agama yang dianutnya tanpa mau mencermati kebenaran agama yang dianutnya, bahkan yang lebih parah lagi mereka terjebak dalam sikap fanatik buta terhadap agamanya masing-masing, yang pada gilirannya akan menimbulkan sikap saling membenarkan agamanya masing-masing dan menyalahkan agama orang lain,padahal umat manusia itu sebenarnya adalah umat yang satu.

“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih”. (QS Yunus 10 : 19)

“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan kebenaran, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman tentang hal yang mereka perselisihan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada Jalan yang Lurus”. (QS Al Baqarah 2 : 213)

Beda pendapat diantara manusia tentang kebenaran adalah suatu hal yang manusiawi dan wajar, hal ini sesuai dengan firman Allah, yakni :

Sesungguhnya kamu sekalian selalu dalam keadaan berbeda-beda pendapat”. (QS Adz Azariyaat 51 : 8)

Perbedaan pendapat tentang suatu kebenaran, diantara umat manusia sangat dimaklumi oleh Allah. Bahkan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda :

“Perbedaan pendapat didalam umatku adalah rahmat”. (Al Hadits)

Tetapi perbedaan pendapat yang menjurus kepada perpecahan dan permusuhan, sangatlah dibenci Allah.

“…janganlah kamu termasuk golongan orang-orang yang mempersekutukan Allah (yaitu) orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS Ar Ruum 30 : 32 – 32).

Berdasarkan ayat tersebut di atas, dapat simpulkan bahwa salah satu sifat orang yang menyekutukan Allah adalah orang-orang yang suka memecah belah agamanya dan ia merasa paling benar, paling suci dari golongan lainnya. Seluruh golongan di luar golongannya dianggapnya sebagai golongan batil dan ia bangga atas kebenaran golongannya. Padahal, Yang Paling Haq, Yang Paling Suci adalah Allah SWT sajalah sebagai satu-satunya Dzat yang menjadi sesembahan umat manusia.

“….sesungguhnya Allah adalah kebenaran (Al Haq) dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah, itulah yang batil. Sesungguhnya Dia-lah Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (QS Luqman 31 : 30).

“…kebenaran itu datangnya dari Allah….” ( QS Al Baqarah 2 : 147 ).
Ayat-ayat di atas secara tegas mengatakan bahwa Al Haq yang sebenarnya adalah Allah sendiri. Jadi sangatlah keliru apabila ada orang yang mengaku bahwa dirinyalah yang paling benar, atau mereka mengaku bahwa golongannya yang paling benar. Bahkan berdasarkan ayat tersebut di atas, orang atau golongan yang mengklaim atau mengaku paling benar, sebenarnya justru telah menyekutukan Allah, karena ia atau mereka telah mensejajarkan dirinya atau golongannya setara dengan Allah. Padahal Allah telah berfirman dalam Al Qur’an :

“….tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. (QS An Najm 53 : 32)

Jadi, janganlah kita mengklaim bahwa diri atau golongan kitalah yang paling benar, haq dan suci, sedangkan orang lain atau golongan lain dianggap batil, salah, tidak suci dan kafir. Sebab, yang paling mengetahui siapa yang haq, benar dan siapa yang termasuk kafir atau batil, adalah hanya Allah SWT sajalah yang dapat mengetahuinya.

“…maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”. (QS An Najm 53 : 32)

“Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS Al An’am 6 : 117)

Kembali ke masalah perbedaan di kalangan umat manusia, sebenarnya Allah telah membuatkan solusinya, yaitu agar manusia mengembalikan permasalahan tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia (masalah itu) kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS An Nissa 4 : 59)

Sebagian besar umat Islam berpendapat bahwa apabila kita berbeda pendapat dalam urusan kebenaran, maka perkara itu diselesaikan dengan cara menelaah kembali Al Qur’an dan Al Hadits. Tetapi anehnya setelah mereka sama-sama menelaah permasalahan tersebut ke dalam Al Qur’an dan Al hadits , tetap saja tidak ditemukan kata sepakat, bahkan perbedaan pendapat diantara mereka semakin tajam saja, walaupun dalil yang dipedomaninya sama. Hal ini sering terjadi di kalangan umat Islam dan juga di kalangan umat beragama lainnya, sehingga kita sering melihat di kalangan umat beragama terjadi perpecahan dan bergolongan dalam memahami ajaran agamanya. Khusus untuk umat Islam, perpecahan di antara umatnya sudah diramalkan oleh Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan sabda beliau :

“Sepeninggalku nanti, umat Islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka, hanya satu golongan yang benar yaitu yang berpegang teguh kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Al Hadts)

Seruan untuk kembali kepada Al Qur’an dan Al Hadits, apbila di kalangan umat Islam terjadi perbedaan pendapat, tidak akan berhasil dengan baik, jika kita belum mendapatkan Petunjuk dari Allah dalam menelaah dan mengkaji ajara-ajaran-Nya yang tertuang dalam Kitabullah, karena untuk bisa memahami Kalam Allah di dalam Al Qur’an diperlukan Petunjuk atau Wahyu terlebih dahulu, sesuai dengan firman Allah :

‘Dan tidak seorangpun manusia yang dapat memahami Kalimat Allah kecuali dengan bantuan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya siapa yang dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Kitab dan apa iman itu, tetapi Kami jadikan wahyu itu Cahaya, yang dengannya Kami memberi Petunjuk orang-orang yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau menunjuki kepada jalan yang lurus”. (QS Asy Syura 42 51-52)

“Maha Tinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa menyimpulkan isi Al Qur’an sebelum disempurnakan Wahyu kepadamu, dan katakanlah : “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (QS Thaha 20 114)

“Dan Allah akan menambah Petunjuk kepada mereka yang telah mendapat Petunjuk”. (QS Maryam 19 : 76)

“Dia telah menurunkan para malaikat dan Roh untuk membawa Wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya”. (QS An Nahl 16 : 2)

Berdasarkan ayat tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk membaca wahyu Allah harus dengan wahyu pula, sebab mustahil kita dapat memahami wahyu Allah tanpa menerima petunjuk atau wahyu dari Allah.

“Dan kebanyakan mereka hanyalah mengikuti persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak dapat mengalahkan kebenaran sedikitpun. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS Yunus 10 : 36)

Untuk mendapatkan wahyu dari Allah, dipelukan usaha yang sungguh-sungguh dari setiap umat manusia untuk mengenal dan menemui Allah, dengan bantuan dan bimbingan dari orang-orang yang ahli dalam bidang tersebut.

“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kamu kepada ahli Dzikir jika kamu tidak mengetahui”. (QS An Nahl 16 : 43)

Sumber : ajaransufi.blogspot.com
 
Picture
Suatu proses mistik yang dinilai tinggi dalam banyak tradisi, pengalaman khalwat mewujudkan prisip spiritual yang penting: orang tidak dapat mulai memahami tingkat realitas yang luhur tanpa lebih dulu meredam getaran yang lebih kasar dari dunia luar. Realitas sehari-hari itu demikian mencengangkan sehingga orang harus berusaha dengan sadar untuk menguranginya agar dapat melihat realitas lain yang ada dibaliknya. Sudah lazim bagi orang yang bermeditasi untuk mengambil posisi fisik diam di sebuah ruangan yang sunyi, yang terpisah dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari. Dengan melindungi diri dari gangguan lingkungan, orang akan dapat menjauhkan dirinya dari peristiwa-peristiwa yang meresahkan seperti krisis ekonomi, perang, dan pemboman oleh para teroris, serta dari reaksi emosional pribadinya sendiri. Sesungguhnya khalwat meditasi—entah dilakukan selama satu jam, satu hari, atau empat puluh hari—memungkinkan sang pencari untuk menemukan jalan melepaskan belenggu tanggung jawab duniawinya agar dapat berpaling ke dalam batinnya sendiri.

“Melepaskan ikatan” bukan berarti memutuskan ikatan itu sama sekali, sebab jika itu dilakukan berarti menjadi seorang pertapa. Satu-satunya jalan untuk  melepaskan ikatan yang membelenggu kita adalah dengan menemukan kebebasan di dalam batin—bukan kebebasan dari keadaan, melainkan dari pikiran dan emosi kita yang terkondisi.

Bahkan, bertolak belakang dengan keadaan dunia di Zaman kuno, dimana manusia tampak bagaikan titik kecil yang tiada artinya dibandingkan latar belakang belantara dunia yang mahaluas, kebutuhan untuk menyendiri tidak pernah lebih mendesak daripada di dunia tekno-industri masa kini. Jati diri manusia dengan mudah hilang di tengah berbagai kekasaran, kekerasan, ketidakjujuran, keegoisan, dan keserakahan yang begitu lazim di dalam masyarakat kota. Orang yang hidup dalam lingkungan yang memupuk persaingan dan iri hati, frustasi dan perasaan tidak berdaya akan muncul. Merasa bahwa dalam menjalani hidup ini tidak berguna sama sekali.

Karena terperangkap oleh rasa putus asa dan tak bermakna, tidak mengherankan bahwa begitu banyak orang dizaman sekarang yang diliputi kerinduan untuk mencari kembali pemahaman diri yang lebih mendalam. Dan sementara seorang professional yang sibuk mungkin merupakan teladan manusia sukses,  jalan hidup yang ditawarkan oleh para ahli tasawuf yang mengisi hari-hari mereka dengan terserap sepenuhnya di dalam Kehadiran Ilahi menyuguhkan kepada manusia masa kini sejenis keselarasan yang berbeda—keselarasan yang dapat menyusuf ke dalam kehidupan kita sehari-hari, memancarkan  secercah sinar untuk mengurangi permasalahan kita, dan membantu mengembangkan potensi diri kita.

Banyak orang mendekati meditasi sebagai sarana untuk melepaskan stres dan bukannya menjalin kedekatan dengan Tuhan. Inti upaya spiritual adalah perubahan mendalam dan perluasan kesadaran yang dapat dicapai  melalui kebangkitan batin. Meditasi , sesungguhnya dapat didefinisikan sebagai seni menyesuaikan kesadaran. Khalwat menyediakan ruang dimana sang pencari dapat menjelajahi berbagai pemandangan alam semesta spiritual—dimensi-dimensi kesadaran yang ada di dalamnya.

Dalam meditasi sufi dengan jelas membedakan antara empat bentuk pemikiran yang berkaitan dengan empat tingkat kesadaran yang ada diluar jangkauan tengah yang biasa. Seperti butir kerikil yang dilemparkan ke tengah kolam yang airnya tenang dan menimbulkan lingkaran-lingkaran yang terus membesar, misalnya sudah lazim bahwa selama berlangsung meditasi, kesadaranpun akan meluas, melampaui yang terjadi disini, maka demikian pula pandangan kita mengenai “diri” fisik kita yang meluas, menjadi lebih kosmik dan kurang individual. Kita merasakan bahwa tubuh kita dikelilingi oleh zona-zona materi yang halus, bagaikan ladang magnet. Pengalaman seperti itu melarutkan organisme jasmaniah kita menjadi suatu ladang elektromagnetik yang halus, yang dengan indahnya menjangkau angkasa. Ini meningkatakn pengalaman ketika kita secara fisik menyebar ke segenap penciptaan, seakan-akan tubuh kita merupakan percikan-percikan debu-bintang yang dengan cepat menyebar, yang bermunculan seperseribu detik setelah Ledakan Besar. Inilah bentuk kesadaran pertama, yaitu kesadaran kosmik.

Bentuk kesadaran kedua berupa pengalihan  dari kesadaran kosmik yang mencakup keseluruhan ke ruang batin. Dari sudut pandang batin ini, struktur luar dari dunia menampilkan diri sebagai cerminan dari apa yang digambarkan ahli fisika David Bohm sebagai tatanan yang “melibatkan”—realitas mendasar di balik persepsi kita mengenai dunia fisik. Ini mencerminkan pandangan tradisional Islam bahwa objek-objek lahiriah dari realitas materi tidak lain dari jejak-jejak realitas yang lebih dalam, dan suatu petunjuk untuk menangkapnya. Kata Ibnu ‘Arabi, para sufi berusaha menangkap “sesuatu yang tersingkap melalui apa yang tampak.” Dengan memandang realitas sebagai sesuatu yang bergerak dari dalam ke luar—seakan akan muncul dari kedalaman yang misterius dan tidak sehat—pikiran kita menangkap kesalingketerkaitan, melihat pola-pola kebermaknaan yang tidak terlihat dalam kesadaran jaga kita.

Dalam latar kesadaran ketiga, kita beralih dari kedalaman batin ke puncak transendensi. Dari perspektif transenden ini, pendapat mengenai ruang itu sendiri menghilang ketika kesadaran terserap ke dalam sesuatu yang tidak terbatas. Meskipun sulit untuk menjelaskan indra transenden pikiran kita, ahli matematika Henri Poincare mendefinisikan ketidakterbatasan sebagai kemampuan pikiran untuk mencitrakan sebuah angka yang lebih besar dari pada angka terbesar yang dapat kita bayangkan sejauh ini dalam regresi tak terbatas. Bertentangan dengan kutub pribadi identitas kita, ini adalah kutub transenden impersonal dari diri kita, bagian dari kita yang telah terjaga dibalik kehidupan.Dengan menghindari pendapat mengenai subtansial fisik, rasa identitas kita beralih dari jasmani ke akal murni. Cara persepsi ini memungkinkan kita untuk menangkap intisari dibalik struktur kehidupan.

Akhirnya,  ada suatu perangkat kesadaran yang menyatukan semua cara sebelumnya. Yaitu kesadaran yang keempat. Inilah keadaan yang sekaligus mencakup pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman hidup pribadi seseorang  dan kecerdasan transenden yang tidak tergantung pada kondisi lahiriah. Menurut psikiatris Swis C.G. Jung menemukan bahwa dalam beberapa kasus, jiwa mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita, dan bukan hanya kita yang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa lahiriah. Perenungan spiritual dapat memperkirakan, berdasarkan pendapat menyangkut sinkronisitasini, gagasan bahwa realitas mental dan material itu seperti  dua sisi mata uang yang sama—begitu saling terkaitnya sehingga tubuh mencakup pikiran dan demikian pula sebaliknya. Keterkaitan tubuh/pikiran mendukung pendapat bahwa pengalaman-pengalaman meditatif kita dalam kesadaran dan pencerahan mempengaruhi sekaligus dimensi tak terlihat dari dunia gaib dan lingkungan fisik kita.

Sumber: Buku Membangkitkan Kesadaran Spiritual (Pir Vilayat Inayat Khan)


 

 
Ada yang mengatakan bahwa keinginan spiritual adalah bentuk kesombongan, dan hanya mereka yang beruntung yang dapat meraihnya.Tetapi tidakkah lebih baik mencurahkan segenap hidup untuk mengejar hasrat tersebut dibandingkan terikat urusan duniawi? Selama kita belum mempertaruhkan diri sendiri, dan selama kita masih terikat seseorang atau sesuatu, itu berarti kita belum merdeka.

Beberapa lembah perjalanan yang dilalui bagi penempuh jalan spiritual untuk menuju Tuhan, menurut Fariddudin Attar ada 7 lembah :

1.       Lembah Pencarian

2.       Lembah Cinta

3.       Lembah Kesadaran

4.       Lembah Kebebasan

5.        Lembah Keesaan

6.       Lembah Misteri

7.       Lembah Kemiskinan dan Ketiadaan

 

LEMBAH PENCARIAN

Memasuki lembah pencarian, seratus kesulitan akan menyergap dari berbagai penjuru dan akan mengalami seratus cobaan. Kita harus meninggalkan sesuatu yang nampak berharga bagi diri kita dan memandang semua milik kita tidak berarti apa-apa. Barulah hati kita terselamatkan dari kehancuran.

Barang siapa memasuki  lembah ini, hatinya dipenuhi kerinduan sehingga mengabdikan segenap jiwanya untuk mencari perlambang lembah ini. Di jalan penyempurnaan diri, kita tidak boleh terlena walaupun sejenak . Bila sekejap saja kita berhenti menyempurnakan diri kaki kita tergelincir mundur beberapa langkah.

Di jalan ruhani, cinta dan harapan sama-sama diperlukan. Bila kita tidak memiliki kedua hal ini, lebih baik tinggalkan pencarian. Kita harus berusaha dan bersabar. Bersabar dan berusahalah dengan harapan mendapatkan petunjuk jalan. Kuasailah diri kita dan jangan sampai kehidupan lahiriah menawanmu.

 

LEMBAH CINTA

Untuk memasukinya kita harus menjadi api yang menyala. Wajah pecinta harus menyala, berkilauan dan berkobar. Cinta sejati tidak mengenal pikiran nanti. Di lembah cinta ini, cinta dilambangkan dengan api menyala sementara pikiran bagaikan asap. Apabila cinta sudah datang, pikiranpun lenyap. Pikiran tak bias  menyatu dengan keluguan cinta dan cinta tidak berurusan dengan akal pikiran manusia.

Bila engkau memiliki pengetahuan batin, inti dari dunia lahiriah akan tersingkapkan tetapi bila kita memandang segala sesuatu dengan mata lahiriah, maka kita tidak akan pernah mengerti apa artinya mencintai. Hanya yang teruji dan terbebaskan merasakan keadaan ini. Penempuh perjalanan spiritual hendaknya memiliki seribu hati sehingga setiap saat dia bisa mengorbankan salah satu hatinya.

Ketika kita menempuh jalan cinta, buanglah prasangka dan tinggalkan keterikatan pada hal-hal yang bersifat lahiriah. Dan agar tidak menjadi sumber kejahatan, tutuplah jalan dendam dan cinta diri. Selama kita masih mempertahankan kesombongan diri, maka kelelahanmu mempelajari kitab-kitab suci dan usaha kecil kita hanya seharga sekeping obol. Hanya dengan meninggalakan kesombongan dan kebanggaan, kita dapat meninggalkan  kehidupan lahiriah tanpa merasa menyesal kemudian. Jika masih sombong dan membanggakan diri pada persoalan-persoalan lahiriah, maka tunggulah seratus anak panah kesengsaraan akan menghujani dari segala menjuru.

 

LEMBAH KESADARAN

Lembah kesadaran (keinsafan), tanpa permulaan dan akhir. Tidak ada jalan serupa dengan jalan ini. Jaraknya tidak dapat diperkirakan jauhnya. Keinsafan bersifat kekal bagi penempuh jalan ini sementara pengetahuan hanya sebentar. Jiwa, seperti halnya raga, mengalami keadaan maju mundur. Dan jalan ruhani menampakakan dirinya setelah penempuhnya melampaui kesalahan dan kelemahannya, tidur dan kemalasannya. Setiap penempuh perjalanan semakin dekat dengan tujuannya, sesuai dengan usahanya masing-masing.

Keinsafan dapat dicapai dengan beraneka cara, sebagian menemukan di Mihrab, sebagian lain di depan. Apabila matahari keinsafan menerangi jalan ini,  masing-masing memperoleh cahayanya seimbang dengan usahanya dan mendapatkan tingkatan sebanding keinsafan terhadap kebenaran.

Jangan tidur wahai manusia, jika engkau ingin mengetahui dirimu.  Kawallah benteng dengan waspada karena pencuri dan perampok berkeliaran. Jangan engkau biarkan mereka mengambil permatamu. Pengetahuan sejati mendatangi mereka yang selalu terjaga. Yang bersabar mengawal benteng, mengetahui kapan Tuhan mendekat. Jika para pecinta sejati ingin menyerahkan diri dalam kemabukan cinta, mereka akan menyendiri. Pemilik cinta ruhani menggenggam kunci dua dunia di tangannya. Jika dia perempuan berubah menjadi laki-laki. Jika dia laki-laki berubah jadi samudra.

 

LEMBAH KEBEBASAN

Pada lembah keempat ini tidak ada lagi nafsu memiliki atau keinginan menemukan. Dalam keadaan seperti ini, angin dingin bertiup dengan ganas sehingga dalam sejenak angin menghancurkan smesta yang luas. Tujuh lautan sama dengan sebuah lubang air. Tujuh  galaxy sama dengan setitik kembang api. Tujuh langit sama dengan bangkai. Tujuh neraka hanyalah es yang mencair. Kemudian sebaliknya, sesuatu tidak bisa dinalar manusia. Seekor semut sama seperti seratus gajah dan seratus kafilah tewas sementara seekor gajah memakan bangkainya.

Di lembah ini baru dan lama tidak berharga. Engkau diperbolehkan berbuat atau tidak berbuat. Bila engkau melihat seluruh dunia terbakar dan semua hati tidak lebih dari kapas. Semua hanya khayalan, bila dibandingkan kenyataan sebenarnya. Jika puluhan ribu jiwa tenggelam ke dalam lautan tak terbatas, itu seperti setitik embun. Bila langit dan bumi harus meledak menjadi serpihan-serpihan, itu tidak berbeda dengan setangkai daun luruh. Apabila segalanya harus dimusnahkan , sejak dari ikan penyangga bumi sampai bulan di langit,  masihkah ada kaki semut lumpuh di dalam sumur? Jika tidak ada lagi jejak manusia dan jin, rahasia setitik air asal sesuatu harus direnungkan kembali.

Lembah ini tidak mudah dilalui sebagaimana prasangka lugumu. Meskipun darah hatimu memenuhi lautan, engaku baru memulai tahap pertama. Meskipun engkau telah menjelajahi semua jalan di dunia, namaun engkau masih saja dilangkah pertama. Tidak ada musafir yang mengetahui akhir perjalananini dan tidak ada yang menemukan penawar cinta. Jika engkau berhenti, engkau membeku atau bahkan mati. Jika engkau lanjutkan langkahmu, kau dengar seruan, “Majulah terus lebih jauh lagi”. Engkau tidak dapat berjalan atau berhenti. Tidak ada manfaatnya lagi hidup atau mati.

 

LEMBAH KEESAAN

Di lembah ini semuanya pecah terurai lalu menyatu kembali. Semua yang mendongakkan kepalanya  berleher satu. Meskipun kelihatannya banyak, namun hakikatnya satu. Semuanya Esa dalam kesempurnaan Yang Esa. Dan sekali lag, yang terlihat esa tidak berbeda dengan yang banyak. Seseorang bertanya kepada seorang arif,” Apakah dunia ini ?. Dengan apakah dapat diumpamakan ?”. Dunia ini paduan kengerian dan kejahatan. Bagaikan pohon palma dihiasi seratus warna lilin. Karena itulah, warna dan bentuk yang engkau kagumi tidak sebanding dengan satu obol. Jika ada esa tidak mungkin ada dualitas. “Aku” dan “Engkau” tidak lagi penting.

Apabila pengembara spiritual memasuki lembah ini, dia akan hilang dan lenyap dari penglihatan karena wujud tanpa tandingan menampilkan diriNya. Pengembara terdiam karena pengembara itu berfirman : wahai Tuhan hamba, hanya Engkaulah yang hamba damba. Hamba tahu kalau tidak diperbolehkan membiarkan diri dipengaruhi angan-angan kecemasan atau ketakutan.

 

LEMBAH MISTERI

Setelah lembah keesaan, lembah keheranan dan kebingunganpun membayangi. Disana kita menjadi mangsa duka dan sedih. Setiap hembusan nafas adalah keluhan kepedihan dan setiap keluhan bagaikan pedang. Disana hnyalah duka, ratapan dan kerinduan mendendam siang dan malam hadir dengan serempak. Disana api menyala-nyala namun kita merasa tertekan dan tak lagi memiliki harapan.

Dalam lembah kebingungan ini muncul pertanyaan, “Mungkinkah kita melanjutkan perjalanan ini?” Akan tetapi yang melampaui lembah keesaan lupa segalanya bahkan dirinya sendiri. Jika dia ditanya, “Engaku ada ataukah tidak? Adakah Engaku atau tidak ada? Apakah engkau berada di tengan atau ditepian? Apakah Engkau fana atau kekal?” Ia akan menjawab dengan tegas,”Aku tidak tahu apa-apa”, aku tidak mengerti apa-apa . Aku tidak sadar atas diriku sendiri. Aku tengah bercinta namun dengan siapa, aku tidak tahu. Hatiku dipenuhi cinta sekaligus hampa.

Manusia selalu hidup di dalam angan-angan dan mimpi. Tidak ada yang melihat segala sesuatu sebagaimana adanya. Apabila seseorang mengatakan, Apa yang mesti kulakukan? Jawablah, “Jangan melakukan apa yang biasa engkau lakukan dan jangan berbuat yang sudah biasa engkau perbuat”.

Mereka yang memasuki lembah keheranan ini akan bersedih memikirkan seratus dunia. Bagiku mereka kebingungan dan tersesat. Kemanakah aku harus melangkah? Berdoalah agar aku tahu apa yang harus aku lakukan! Tetapi ingatlah ratapan manusia menurunkan rahmat langit.

 

LEMBAH KEMATIAN

Lembah terakhir yang akan dilalui adalah keterampasan dan kematian, hamper tidak bias dijelaskan. Hakikat lembah ini adalah lupa, buta, tuli dan kebingungan.Seratus baying-bayang yang menghalangimu lenyap dibuyarkan secercah cahaya matahari langit. Apabila laut maha raya bergelora, permukaannya kehilangan bentuk. Bentuk tidak lain adalah dunia kini dan dunia nanti.

Siapakah yang menganggap dirinya tidak memperoleh kemuliaan Agung? Setitik air lautan kan tetap tinggal disana, abadi dan damai. Di laut maha tenang, pada mulanya kita terhina dan terbuang tetapi setelah terangkat dari keadaan ini, kita memahaminya sebagai makluk dan banyak sekali rahasia tersingkkap.

Banyak sekali makluk salah langkah pertama sehingga gamang dilangkah kedua, mereka seperti benda-benda tambang.Apabila kayu dan duri terbakar menjadi abu, keduanya terlihat sama namun mutunya berbeda. Benda najis dimasukkan ke air tawar tetap najis karena sifat dasarnya. Akan tetapi benda suci dimasukkan ke dalam lautan kehilangan wujudnya dan menyatukan diri dengan gerak ombak lautan. Ketika berhenti dan terpisah dari lautan , dia memancarkan keindahannya sendiri. Dia ada dan tidak ada. Bagaimana hal ini terjadi, akal pikiran tidak dapat membayangkannya.

Leburkan dirimu dalam gelora api cinta sehingga engkau tiudak lebih sehelai rambut, dan engkau layak menjadi sehelai rambut dari rambut kekasih.Apabila matamu menatap jalan dan selalu mengawasi, renungkan dan pikiran rambut helai demi helai.

Sumber: Buku Perjalanan Menuju Tuhan (Faridudin Attar)

spiritual books religi