spiritual books religi
 

Oleh : Kuswanto Abu Irsyad

Rasulullah Saw menegaskan bahwa seseorang yang beribadah / menyembah Allah, seharusnya dirasakan “seakan-akan melihat Tuhan. Lafal hadits itu adalah : “Ihsan, adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat Allah”(HR Muslim dari Umar) Dalam lafal hadits terdapat “Ka-anna” yang terdiri dari dua kata “ka” dan “anna”. Dalam tata bahasa Arab, perkataan “ka” dinamakan “hartfut tamstil” (menunjukan umpama atau contoh). Sedang perkataan “anna” adalah “lit-taukid” (untuk menguatkan), yang dalam bahasa Indonesia umumnya diartikan sesungguhnya. Maka arti yang tepat dari kata “ka-anna” adalah “seperti sesungguh-sungguhnya”. Seorang aktor atau aktris yang baik, harus mampu menunjukan permainannya seperti sungguhan sesuai dengan peran yang dimainkannya. Expresi wajah / mimik, vokal, lagu dan lain-lain harus cenderung kepada keadaan yang sebenarnya.

Maka setiap melakukan ibadah khususnya pada waktu sholat, bila tidak disertai perasaan, “seperti sungguh-sungguh” melihat Tuhan, maka ibadah itu tidak tergolong dalam katagori ibadah yang ihsan (baik). Allah SWT. berfirman :

“Sesungguhnya sembahyang (Sholat) itu memang berat kecuali bagi mereka yang khusyu yaitu mereka yang yakin akan berjumpa dengan Tuhan mereka, dan sesungguhnya mereka akan kembali kepadaNya”. (QS. Al-Baqarah 2 : 45)

Dikalangan umat Islam terdapat beberapa pendapat tentang “melihat Tuhan” yang dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Dapat melihat Tuhan di akhirat

2. Tidak dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat

3. Dapat melihat Tuhan di dunia dengan mata hati, sedang di akhirat dengan lebih nyata.

Seluruh Ulama di kalangan Ahlus-Sunnah Wal-Jamaah sepakat bahwa semua orang mukmin akan melihat Allah SWT. di akhirat kelak dengan berpedoman pada firman Allah :

“Wajah-wajah pada hari itu berseri-seri karena memandang kepada Tuhan-Nya”. (QS. Al-Qiyamah : 22-23).

“Untuk orang yang berbuat baik dengan perbuatan yang terbaik, mendapatkan tambahan (melihat TuhanNya)”. (QS. Yunus 10 : 26).

“Ketahuilah, sesungguhnya mereka pada hari itu terdinding untuk memandang Tuhan-Nya” (QS Al-Muthaffifin 83 : 15).

Nabi Muhammad juga pernah bersabda mengenai masalah melihat Allah : “Dari Abi Hurairah r.a, sesungguhnya orang-orang (Para Sahabat) bertanya : Ya Rosulullah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari kiamat ? Maka Rasulullah menjawab : “Sulitkan kamu melihat bulan di malam bulan purnama ? Para sahabat menjawab : Tidak ya Rasulullah. Rasulullah berkata lagi : “Apakah kamu sulit melihat matahari diwaktu tanpa awan ?”Para sahabat menjawab : Tidak ya Rasulullah. Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti itu”. ( HR Bukhari dari Abu Hurairah )

Syeikh Rabi r.a berkata : Saya telah mendengar Imam Syafi’i berkata : “Kami tahu tentang itu (melihat Tuhan) bahwa ada golongan yang tidak terdinding memandang kepada-Nya, mereka tidak bergerombol melihat-Nya”. “Sesungguhnya kedudukan sorga yang paling rendah ialah penghuni sorga yang melihat sorganya, isterinya, pembantunya dan pelaminannya dari jarak perjalanan seribu tahun. Dan penghuni sorga yang paling mulia diantara mereka ialah yang melihat Allah setiap pagi dan petang. Di hari itu penuh ceria memandang TuhanNya”. ( HR Turmudzi dari Stuwair r.‘a diterima beliau dari Ibnu ‘Umar r.a )

Adapun golongan Mu’tazilah meyakini bahwa mustahil untuk dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat dengan berpedoman pada firman Allah : “Tidak ada mata yang dapat melihat Tuhan, tetapi Tuhan dapat melihat mata” (QS Al An’am 6 : 103 )

Demikian pula dengan ayat 22-23 Al-Qiyamah, perkataan n a z h i r a h (melihat) mereka artikan dengan menunggu. Mereka sama sekali tidak menghiraukan apa yang terdapat pada Hadits-hadits Rasulullah SAW. Zamakhsyari, seorang Ulama tafsir di kalangan Mu’tazilah hanya menyatakan “mustahil dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat” tanpa memberikan penjelasan dan dasar alasan yang lebih meyakinkan. Syeikh ‘Allamah Al-Qori menyindir golongan Mu’tazilah dengan Syi’irnya:

Orang Mukmin melihat Tuhannya,

tanpa bentuk tanpa umpama,

nikmat lain tiada arti,

dibanding melihat Ilahi Rabbi,

kaum Mu’tazilah rugi seribu rugi...

Di kalangan Al-Asy’ari (Ahlus Sunnah Wal Jamaah) masih dipertanyakan, apakah melihat Tuhan hanya khusus di akhirat saja ?. Dalam membahas hal tersebut terdapat dua pendapat :

1. Melihat Tuhan hanya di akhirat saja.

2. Melihat Tuhan hanya bukan di akhirat saja tetapi juga dapat melihat Tuhan selagi di dunia ini, yaitu dengan “mata batin” (bashirah).

Kedua pendapat tersebut didasari dengan alasan : bahwa Rasulullah SAW pada waktu melakukan Isra Mi’raj benar-benar melihat Tuhan, sehingga Sayidina Hasan bin ‘Ali r.a berani bersumpah sewaktu menerangkan hal itu. Demikian pula dengan Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbas r.a, yang oleh Imam Nawawi disimpulkan: “Kesimpulannya, Sesungguhnya rajih (alasan kuat) menurut sebagian Ulama bahwa Rasulullah SAW. melihat Tuhannya dengan nyata / mata, pada malam Isra berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas dan lain-lain”.

Menurut Syeikh Ibnu Hajar Haitami tentang Rasulullah melihat Tuhan di malam Isra : “Dikalangan Ahlus Sunnah telah terjadi kesepakatan tentang masalah Rasulullah melihat Tuhan di malam Mi’raj dengan nyata / mata”. Para Auliya mendapat karunia Allah melihat Allah dengan mata batinnya, sebagai suatu “Karomah” untuk mereka, seperti juga mukjizat untuk Rasulullah SAW.

Syeikh Abdul Qadir Jaelani mengakui hal itu, dan Ulama Shufi umumnya mengemukakan : “Apabila ruhaniyah dapat menguasai basyariyah (fisik) maka pandangan mata berlawanan dengan mata batin. Mata tidak akan melihat, kecuali hanya dengan pengertian-pengertian yang terlihat oleh mata batin” Pengertian “ruhaniyah dapat menguasai basyariyat” dapat diambil misal, seorang yang sangat takut dengan hantu. Rasa takut tersebut akan sangat mempengaruhi jiwanya, sehingga apabila ia berjalan pada malam hari, kemudian tiba-tiba ia melihat pohon atau daun pisang yang bergerak tertiup angin, maka ia akan berlari ketakutan karena dikiranya hal itu adalah sosok hantu yang menakutkan.

Bisa juga terjadi melihat Tuhan di dalam mimpi. Dalam kitab Sirajut-Tholibin disebutkan : “Adapun di dalam tidur, sepakat sebagian besar Ulama Shufi kemungkinan terjadi melihat Tuhan”. Dikalangan ulama Shufi terdapat keyakinan bahwa “melihat Tuhan bisa terjadi dengan pandangan mata batin yang mendapat n u r dari Allah SWT, yang oleh Syeikh Junaid disebut Nurul Imtinan.

Syeikh Junaid terkenal sebagai seorang yang amat waro’ (tekun ibadat), seorang Waliyullah, seorang Shufi besar pada zamannya, yang tetap teguh memegang syariat. Banyak sekali tokoh-tokoh Shufi besar adalah murid-murid beliau. Antara lain, Abu ‘Ali Ad-Daqaq, Abu Bakar Al-Atthar, Al-Jurairi, ‘Athowi dan lain-lain. Diceritakan saat beliau mendekati akhir hayatnya, secara terus menerus mendirikan sembahyang dan membaca Al-Qur’an. Beliau wafat pada hari Jum’at tahun 297 Hijriyah, setelah selesai membaca ayat ke 70 Surat. Al-Baqarah.

Sehubungan dengan ucapan beliau tentang Tuhan, murid beliau bertanya :“Ya Abal Qosim, apakah engkau dapat melihat Tuhan pada waktu engkau menyembah-Nya ? Beliau menjawab : “Kami (Para Arif) tidak akan menyembah-Nya bila kami tidak melihat-Nya. Kami juga tidak akan bertasbih untuk-Nya bila kami tidak mengenal-Nya”. Kesimpulannya adalah, bahwa melihat Tuhan di dunia sepanjang pendapat para ‘Arif bila bisa saja terjadi, dengan Nur Mukhasyafah.

Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah, bahwa yang dimaksud dengan “melihat” bukan berarti melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warnanya dari Zat Tuhan), yang mereka istilahkan “bi ghoiri kaifin wa hashrin wa dhorbin min mistalin”. Selain itu mereka pun mengakui bahwa penglihatan kelak diakhirat jauh lebih jelas dan lebih nyata dibanding apa yang mereka lihat di dunia sekarang. “

Imam Qurthuby berkata : “Melihat Allah SWT di dunia (dengan mata hati) dapat diterima akal. Kalau sekiranya tidak bisa, tentulah permintaan Nabi Musa a.s. untuk bisa melihat Tuhan adalah hal yang mustahil. Tidak mungkin seorang Nabi tidak mengerti apa yang boleh dan dan apa yang tidak boleh bagi Allah. Bahkan (seandainya) Nabi Musa tidak meminta, hal ini bisa terjadi dan bukan mustahil”.(Al-Jami’ul Ahkamul-Qur’an) “

Dan firman Allah : “Tatkala Tuhan tajalli / tampak nyata pada gunung itu, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur” Maka apabila Allah bisa tajalli pada gunung, padahal gunung itu adalah benda padat, kenapa tidak mungkin Allah “tajalli” pada Rasul-Rasul-Nya dan Wali-WaliNya ?” (Kawasyiful-Jilliyah).

Berbicara tentang permohonan Nabi Musa a.s. untuk bisa melihat Allah SWT. Sebaiknya kita perhatikan dahulu firman Allah :

“Dan tatkala Musa datang untuk bermunajat pada waktu yang kami tentukan, dan Tuhan-Nya berbicara kepadanya, maka Musa berkata : Ya Tuhanku, nampakkan (Dirimu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. “Tuhan berfirman: “Kamu tidak akan dapat melihat-Ku, tetapi lihatlah bukit itu, bila bukit itu tetap di tempatnya (seperti semula) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhan tajalli / tampak pada bukit itu, kejadian itu menyebabkan bukit itu hancur dan Musapun pingsan. Setelah Musa sadar kembali dia berkata : “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada-Mu dan aku orang pertama yang beriman”. (QS. Al-Araf 7 : 143)

Dalam ayat ini terdapat kata-kata yang perlu di kaji lebih dalam yaitu :

1.Tidak akan melihat Aku

2.Tuhan tajalli pada gunung / bukit.

3.Bukit / gunung hancur, dan

4.Musa a.s pingsan.

Tidak akan melihat Aku, suatu pernyataan dari Allah, bahwa bagaimanapun juga mata kepala yang berbentuk bundar yang terletak pada rongga mata dengan daya lihatnya, tidak akan bisa melihat Tuhan. Tetapi tidak berarti menutup kemungkinan untuk dilihat dengan mata hati. Bila mata hati itu dilengkapi oleh Allah dengan Nur-Nya yang kemudian disebut dengan “nurul bashirah” (Cahaya pandangan batin) dan kemudian terdapat pancaran dan nyala pandangan batin yang disebut (bashar) yang kemudian mata kepala sama sekali tidak berfungsi termasuk tidak berfungsinya daya pikir dan seluruh kemampuan fisikal (jasmani) yang oleh orang Shufi digambarkan dengan “fana-dzauqy”, maka pada kondisi itulah terjadinya melihat Tuhan.

Ibnu Taimiyah berkata : “Banyak orang-orang Shufi berkata : “ Aku melihat Allah’. Diceritakan orang tentang ucapan Ja’far bin Muhammad (As-Shadiq) ketika beliau ditanya : “Apakah anda melihat Allah ?” Ja’far menjawab “Aku melihat Allah dan akupun menyembah-Nya”. Si penanya berkata lagi : Bagaimana anda melihat-Nya ?” Beliau menjawab : Tidak mungkin mata kepala dapat melihat-Nya dengan keterbatasannya itu, tetapi Tuhan dapat dilihat dengan mata hati yang Haqqul Yaqin (keyakinan sebenarnya)”

Tafsir Imam Qurthuby sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah tersebut. Tuhan tajalli pada gunung / bukit, bukanlah berarti “Allah menampakan diri-Nya mengambil tempat pada bukit / gunung. Allah Yang Maha Esa, Maha Meliputi, mustahil bagi-Nya menempati ruang dan tempat dalam insidentil atau permanen.

Saidina ‘Ali berkata : “Allah tidak bertempat, dialah yang mencipatakan waktu dan tempat”. (Alqozhul Himam) Pengertian tajali menurut pandangan Shufi / ‘Arif Billah adalah:

DIA MENAMPAKKAN DIRINYA SENDIRI TANPA ADANYA YANG LAIN DARI DIA, DENGAN KESEMPURNAAN SIFAT-SIFATNYA, NURNYA, YANG LAISA KAMISTLIHI SYAI’UN.

Laisa kamistlihi syai’un tidak ada sesuatu dan satu pun yang seumpama / menyamai-Nya,- tiada pena yang dapat melukiskan dan tak ada kata yang dapat diucapkan, tak ada pula huruf yang dapat dirangkai.

Tajalli Allah pada gunung, merupakan isyarat bahwa Allah bisa saja bertajalli pada benda apapun juga, lebih-lebih kepada Rasul / Nabi-Nabi dan para Wali-Nya atau kepada siapun yang Ia kehendaki. Apabila Allah tajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka Allah akui bahwa tangan, kaki, mata, telinga, hati dan seluruh yang ada pada diri si hamba adalah tangan dan kakinya Allah SWT.

Banyak Hadits yang merupakan dalil dan keterangan yang menguatkan hal itu. Antara lain hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dari Abi Umamah dalam Kitab Al-Kabir : “Hamba-Ku yang selalu merasa dekat pada-Ku dengan melaksanakan amalan-amalan nawafil / sunnat / tambahan, sehingga Aku mencintainya. Akulah yang jadi pendengarannya yang dengan itu ia mendengar, Akulah yang jadi matanya yang dengan itu dia melihat, Akulah yang menjadi lidahnya yang dengan itu ia bicara, Aku pula yang menjadi hatinya yang dengan itu ia bercita-cita. Bila ia meminta / memohon kepada-Ku, Aku perkenankan doanya, dan bila ia meminta tolong kepada-Ku, Aku tolong dia. Aku amat suka kepada hamba-Ku yang mempersembahkan ibadahnya kepada-Ku dengan penuh keikhlasan” (HR. Thobrani dari Umamah r.a.).

Untuk mencapai tajalli, harus melalui beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan dan ketekunan, jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Pada teori lain diistilahkan; takhalli, tahalli, seterusnya sampai tajalli. Takhalli berarti pengosongan dari segala sifat-sifat yang tercela. Kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji, disebut Tahalli. Jadi tahalli adalah pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan menghiasinya dengan hanya semata-mata “dzikirullah”.

Pengosongan dalam arti “fana segala yang fana” akan menyebabkan hati dan pikir itu pun menjadi fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Dalam Istilah kitab kuning hal itu disebut dengan : “rasa yang tiada berasa”. Semua sudah terbentang, semua sudah jelas, semua sudah nyata, maka itulah “mukasyafah”.

Disitulah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa yang sedang pingsan dan gunung yang hancur berantakan. Musa a. s. tidak mampu untuk berbicara, mana Musa ? Mana gunung ? Mana Tuhan ?, akhirnya seperti apa yang dikatakan oleh Syeikh Junaid “Hakikat Tauhid (sebenar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya: kenapa dan bagaimana”. Allah berfirman:

“Segala sesuatu hilang sirna/hancur tiada arti, kecuali wajah-Nya / Zat-Nya (QS. Al-Qashas 28 : 88)

“semua pasti lenyap sirna, sedang yang kekal abadi hanya wajah Tuhanmu Yang Maha memiliki kebesaran dan kemuliaan” (QS. Rahman 55 : 26-27)

“Apa yang ada padamu akan hancur, dan apa yang ada pada Allah kekal abadi” (S. An-Nahl 16 : 96)

Disinilah makna hancurnya gunung dan pingsannya Musa a.s. Seorang yang berjiwa Shufi, bila merenungkan ayat ini (QS 7 :143) akan bahagia dan meneteskan air mata dan berkata lirih “Betapa bahagia wahai gunung, betapa besar engkau, betapa kerasnya engkau, betapapula tegarnya engkau, wahai gunung batu, namun engkau rela menerima kehancuran, kefanaan, kesirnaan dihadapan Allah. Dikefanaanmu, kau rasakan keindahan dan kenikmatan yang tiada tara....

“Demi Tin, Zaitun, dan orang-orang Thursin dan demi negeri yang aman”. (QS. At-Tin : 1-2)

Diriwayatkan orang, dikala Musa a.s. menceritakan kepada pengikut beliau bahwa beliau akan melakukan dialog dengan Tuhan di daerah perbukitan, lalu masing-masing gunung dan bukit menawarkan dirinya untuk dijadikan tempat pertemuan agung dan dialog tingkat maha tinggi itu. Masing-masing menunjukan penampilan bergengsi seraya berkata : “Akulah gunung terbaik dan paling baik”, “Akulah bukit terindah untuk dipandang”, “Akulah yang paling kokoh dan paling tegar diantara jajaran gunung dan bukit di wilayah ini”. Musa a.s. diam seribu bahasa. Sambil memandang dengan penuh perhatian, mengitari dan menyimak suara dan kata, terlihat oleh beliau hanya ada sebuah bukit yang tidak mengeluarkan sepatah kata juapun. Itulah si bukit Sinai (THURSIN). Musa a.s. mendatangi si bukit itu seraya bertanya : Wahai bukit kenapa tiada kata dan suaramu seperti temanmu yang lain ? “Bukit itu menjawab : “Wahai tuanku, Aku mengaku bahwa engkau adalah utusan Allah. Akupun malu untuk bicara. Akupun merasa kerendahan diriku dihadapan Allah. Namun demikian, jika sekiranya Allah berkenan, Aku tentu menyampaikan puji syukurku yang tiada terhingga kehadirat Allah”. Akhirnya, si THURSIN inilah yang mendapat anugerah. Si bukit yang tidak mempunyai kesombongan dan tidak mengagung-agungkan dirinya. Si bukit yang merasa kefanaan dirinya di hadapan Allah. Bukit yang mendapatkan kehormatan dicantumkan namanya di dalam Al-Qur’an.

Adakah makna yang tersembunyi dibalik pengertian bukit yang bernama THURSIN ? Adakah hal-hal yang metaporis dari kenyataan yang terjadi sebenarnya ?. Bukankah Al-Qur’an penuh dengan amtsal dan ibarat ?. Salahkan bila ada yang hendak berimajinasi merenungkan makna hakiki atas bukit yang berbahagia itu sepanjang tidak menyalahi dan bertentangan dengan itikad keimanan yang hak dan benar ? Tentu di dalam diri ini akan menjawab “tidak”. Ini imajinair. Bukan tafsir yang mempunyai kekuatan arti hukum dan hujjah.

Dalam Surat At-Tin, Allah bersumpah atas nama makhluknya, tiga benda yang ditonjolkan adalah Tin, Zaitun, Thursin yang dibawa dengan “Waw lil-qosam” (huruf waw untuk kata sumpah). Sebagian Ulama Tafsir menyebutnya “waw lit-tanbih” (waw untuk diperhatikan). Buah Tin bila diperas, berintikan minyak sebagai bahan pokok minyak wangi. Demikian pula buah Zaitun jika diperas, berintikan sari minyak untuk bahan makanan.

Di dalam masyarakat kita terdapat sebuah perumpamaan tentang buah kelapa : “tempurung adalah syariat, daging kelapa adalah thariqat, bila dikukur/diparut lalu diperas menjadi santan yaitu hakikat, santan dimasak jadi minyak, ialah makrifat. Bukit THURSIN (Tursina) sebuah bukit di padang pasir. Dari segi bahasa berarti “Puncak Sin”.

Thur artinya puncak, dan sin adalah sin. Siapakah Sin ? “Ya Sin (Wahai Sin = manusia).

"Demi Qur’an yang penuh hikmat. Sesungguhnya engkau (Wahai Sin) adalah seorang Rasul”. (QS Ya Sin 36 : 1-5)

Seorang Rasul yang menerima Al-Qur’an adalah Muhammad SAW. Maka panggilan Wahai Sin berarti Wahai Muhammad. Allah Tajalli Di puncak Sin. Bukankah nama Muhammad sudah tertulis di pintu gerbang ‘Arasy ?, Bukankah Nabi Adam memohon ampun dengan wasilah Muhammad ?, bukankah Nabi Musa ‘alaihis-salam pernah berdoa kepada Allah; “Ya Allah andaikata aku hidup di zaman Muhammad , aku bersedia jadi pengikutnya ?, bukankah Muhammad SAW. Adalah RAHMATAN LIL’ALAMIN , alam yang lalu, kini yang akan datang ? (madly wal hadlir wal mustaqbal) Masya Allah ….. betapa mulianya Muhammad di sisi Allah. Tanpa Muhammad tak akan ada rahmat yang dirasakan oleh alam dan isinya. Dalam hadis qudsi Allah berfirman :

“Kalau bukan engkau, kalau bukan engkau (Hai Muhammad) tidak kujadikan semua ini”.

Tidak heran bila Ibnu ‘Araby berkata : “Dia awal kejadian, dia pula akhir kenabian”. Muhammad bukan Tuhan. Bukanpula penjelmaan Tuhan. Dia makhluk yang diciptakan. Tetapi dia awal kejadian :

“Yang mula-mula diciptakan adalah Nur Nabimu Hai Jabir” (Al-Hadits).

Muhammad adalah rahmat bagi alam semesta dan segala isinya. Rahmat selalu ada di mana-mana, waktu lalu, kini dan akan datang. Rahmat datang dari sifat rahmaniyah dan rahimiyah Allah SWT. Sifat tidak berpisah dengan zat.

Di puncak Sin, di sari patinya tin dan zaitun, di sari patinya kelapa itulah dia “baladil amin” (negeri yang aman sentosa). Adakah negeri di muka bumi ini yang benar-benar aman dalam arti hakiki ? Tidak. Tak pernah ada kedamaian hakiki di muka bumi ini. Lalu dimana ? Di sana bukan tempat, di sana bukan ruang, tetapi itulah BALADIL AMIN, itulah dia HADRAT KETUHANAN. “Di sisi Allah Maha Raja Diraja, Maha gagah perkasa“ (Al-Qur’an) Seuntai bait syi’ir yang terasa amat berkesan :

“Sholawat dan salam untuknya,

manusia yang tiada otak bila tidak begitu,

Cahayanya cemerlang,

sumber kejadian segalanya,

lenyap sirna aku dalam Nur-Nya Yang Agung,

tenggelam aku dalam Ke-Esa-an-Mu,

dengan rahasia-Mu, ya Tuhanku yang memiliki kemuliaan,

tiada kata tiada huruf hanya kerinduan”..


Sumber : Pusat Kajian Tasawuf "Nurul Khatami".
 

Oleh :Kuswanto  Abu Irsyad
Memasuki abad global, sekarang ini, kebanyakan manusia cenderung lebih memfokuskan diri untuk memikirkan “HAL KEDUNIAWIAN” ketimbang memikirkan masalah “AGAMA”. Agama hanyalah dianggap sampingan dan dinomor “DUAKAN”. Padahal mereka itu bukannya tidak mengerti dan tidak mengetahui tentang hal tersebut, tetapi kabut tebal masih menyelimuti mata batinnya, mentari semburat polos masih bermalas-malasan terbit dan enggan menghiasi bukit thursinanya. Mereka mengakui dan mengerti bahwa “”HIDUP” didunia ini ada yang “MENGHIDUPKAN”, dan merekapun sadar bahsa ada suatu “KEKUATAN MAHA BESAR” yang mempengaruhi kehidupan mereka, namun kesemuanya itu hanya cukup sebagai “AKUAN” saja.

Begitulah segi kehidupan manusia, walaupun tidak semua manusia berakhlak demikian, namun kebanyakan dari hidup manusia lupa akan membaca “KITABNYA”, hakikat pribadinya, hakikat Tuhannya. Upaya sungguh-sungguh untuk menghayati jati diri (hakikat pribagi), serta melangkahkan kaki untuk menapaki tangga-tangga langit terdekat untuk bermukasyafah, beraudensi dengan Tuhan dianggap pekerjaan yang membuang-buang waktu dan sia-sia, hal ini sudah barang tentu sangat bertentangan dengan firman Allah dan hadist Rasulullah SAW:
“Hai manusia, sesungguhnya kamu harus mengusahakan diri dengan ketekunan yang setekun-tekunnya sehingga sampai kepada Tuhanmu lalu kamu menemui-Nya” (QS Al-Insyiqaaq 84:6).
“Barang siapa yang mengharap untuk menemui Allah, sesungguhnya janji Allah pasti akan datang. Dia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.” (QS Al-Ankabut 29:5).
“Man Arofa Nafsahu Fakod Arofa Robbahu” – “Barang siapa kenal dirinya, maka dia akan kenal Tuhannya” (Hadist Rasulullah).

Kesibukan didalam meraih gemerlapnya dunia telah menutup dirinya, menghijab dirinya, telah menjumudkan pikirannya hingga terjerumus kedalam kesaksian palsu, bukan saksi sejati. Ingatkah peristiwa di alam azaly, dimana terjadi dialog antara Roh kita dengan Maha Roh ketika itu:
“Alastu birabbikum, Balla sahidna!” – “Bukankah Aku ini Tuhanmu, Ya benar saya bersaksi Engkau adalah Tuhanku”.

Sadarkah terhadap kalimat “SYAHADAT” yang telah kita ucapkan? Benarkah kita telah bersaksi selama ini? Apakah Syahadat kita hanya sekedar ucapan tanpa pembuktian?. Terdapat tiga golongan yang ada didalam kehidupan sehari-hari ditengah-tengah masyarakat kita. Tiga golongan tersebut adalah golongan kiri,kanan dan tengah (siratal mustaqim), sebagaimana difirmankan dalam Al-Qur’an Surat Al-Waqiah 56:8-11- “Yaitu golongan kanan, alangkah mulianya golongan kanan itu”. “Dan golongan kiri, alangkah sengsaranya golongan kiri itu”. 
Serta surat Al-Fatihah 1:6 – “Tunjukilah kami jalan yang lurus”.
1. Golongan kiri
Golongan kiri adalah suatu golongan yang ditandai dengan suasana kehidupan serba gemerlap. Kehidupan manusia yang materiallistik, penuh sandiwara. Babak demi babak hidup dan kehidupannya habis untuk mengais-ais dunia. Kesuksesan, keberhasilan di dalam meraih dunia telah melemparkan mereka kedalam sifat angkuh, tinggi diri, gila hormat, mengejar pangkat dan jabatan dengan berbagai macam jalan. Mereka bangga atas semua itu.

Dengan merasa diri telah cukup terhadap kepentingan hidupnya, tercapai segala kehendaknya, hingga ia lupa segala-galanya. Sementara Tuhan sebagai satu-satunya sumber kehidupan hanya dijadikan “SESEMBAHAN” ritual serimonial belaka. Rangkaian ibadah ditujukan hanya mencari sensasi dan penghormatan semata. Gerak langkah kehidupannya masih bersifat lahiriah dan puncak ibadahnya masih menyembah kira-kira. Firman Allah:
“Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain permainan dan senda gurau belaka, dan sesungguhnya kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang bertaqwa, maka apakah manusia tidak memahaminya?” (QS Al-Ankabut 29:64).

Disamping itu merekapun kurang cermat didalam mengaktualisasikan Sabda Rasulullah SAW: “Carilah harta dunia seolah-olah engkau akan hidup selama-lamanya. Dan beribadahlah engkau seolah-olah akan mati esok hari”. Begitulah bagi manusia-manusia yang telah tertutup mata hatinya oleh kesenangan dunia, lupa bahwa dirinya akan mati, lupa bahwa hasil usaha yang tak mengenal waktu itu akan ia tinggalkan.

2. Golongan kanan
Golongan kanan adalah golongan yang ditandai dengan kehidupan religius dan telah banyak dipraktekan ditengah masyarakat kita, namun demikian aktualisasinya justru banyak yang kurang sempurna. Kebanyakan manusia telah terjebak terhadap aturan-aturan yang rumit didalam rangka mencari Tuhannya. Fanatik terhadap mazhab, golongan, aliran serta atribut-atribut yang menjadi kebanggaan justru banyak ditonjolkan serta lebih dikedepankan. 

Sarana dan prasarana sebagai jalan untuk menuju Tuhan senantiasa diperdebatkan. Yang satu mengklaim bahwa dirinya yang paling benar, sedang yang lain menuding itu tidak benar. Debat seru menyoal sarana prasarana hanyalah membuang-buang energi, dan pada gilirannya nanti justru akan menghambat, mengaburkan esensi Tuhan itu sendiri. 

Menyembah kepada Allah ditujukan untuk meraih pahala dan surga semata, sementara tujuan yang hendak dicapai adalah utamanya, bukan sarana prasarananya, pahala dan surga, kita mesti mencari yang punya surga. Firman Allah: 
QS Al-Mu’minun 23:52 – “Sesungguhnya Agama Tauhid adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertaqwalah kepada-Ku”. 
QS Ali Imran 3:132 – “Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat”.

Al-Qur’an diatas menisyaratkan agar kita senantiasa berpegang teguh kepada Agama Tauhid (Addin sejati), berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadist. Selanjutnya mengikuti jejak Rasulullah SAW untuk melaksanakan kehidupan yang religius spiritual, serta menjauhkan diri dari pertengkaran ditengah perjalanan.

3. Golongan tengah (Jalan Lurus)
Golongan tengah adalah golongan yang ditandai dengan kehidupan mempercayai “Wahdatul Wujud” menuju kepada pembuktian (Isbatul Yakin), juga telah dipraktekkan di bumi persada ini. Aktifitas dan agenda harianpun telah terisi penuh dengan usaha-usaha mendekatkan diri kepada Allah.

Konsep keseimbangan antara menggapai dunia dengan meraih tangga-tangga langit telah diupayakan sedemikian rupa. Dorongan dan iradah untuk menyibak awan, meraih bintang menggapai bulanpun telah dicobanya. Namun pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat keterbiasaan mengkaji ilmu syareat menyebabkan kita menjadi bingung untuk melangkah saat mengkaji ilmu ma’rifat. Kita sepertinya berada ditengah keragu-raguan. Para penempuh perjalanan rohani (bertasawuf) hendaklah menghindari sikap yang demikian

Kita dituntut untuk bersikap jujur dan bukan mencari kesalahan, bukan pula caci-makian, bukan juga merasa dirinya yang paling benar. Kita perlu berusaha membuka tutup tabir yang selalu menyelimuti/menghijab dirinya. Bagi perjalanan tasawuf hendaklah berusaha untuk mencapai tujuan kepada Tuhan, bukan mencari surga atau neraka. Bukan pula untuk bertengkar didalam perjalanan. Dan tidak terpaku dengan titik koma bacaan dan tulisan. Tuhan tidak ada didalam bacaan dan tulisan. Tuhan berada pada yang membaca dan yang menulis, apabila pelakunya mengerti tentang Tuan, suatu tanda untuk sampai ke tujuan.

Disamping itu sikap yang ada selama ini atas penilaian bahwa Allah Maha Ghaib, hendaklah berangsur-angsur kita tingkatkan menjadi Allah Maha Pasti, Dia Maha Besar, Maha Halus dan Maha Esa dan Dia pula yang berada pada setiap makhluk ciptaannya. Para penempuh perjalanan dengan bertasawuf untuk tingkat pemula pada umumnya sering mengalami kesulitan didalam menterjemahkan ayat-ayat mutasyabihat/ma’rifat (makiyah). 

Hal ini sangatlah wajar sebagaimana telah digambarkan dalam Al-Qur’an:
“Dialah yang menurunkan Al-Qur’an kepadamu, diantaranya ada ayat-ayat yang “Mukhamat” dan yang lain “Mutasyabihat”. Maka adapun orang-orang yang hatinya cenderung kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang Mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang dalam ilmunya berkata: Kami beriman kepada yang mutasyabihat semua itu dari sisi Tuhan kami”. (QS Ali Imran 3:7)
“Tidak seorang manusia dapat menerima rahasia Tuhan, kecuali dengan wahyu (ilham) atau dibalik tabir, atau diutusnya Utusan, lalu dengan izin-Nya diwahyukannya tentang apa-apa yang dikehendaki-Nya”. (QS Asy-Syura 42:51).

Menterjemahkan ayat-ayat/ma’rifat, mutasyabihat dan pencarian terhadap Tuhan terkadang masih membingungkan bagi orang yang sedang bertasawuf tingkat pemula. Berbagai ragam pertanyaan yang senantiasa muncul dibenak mereka perihal siapakah Tuhan, dimanakah keberadaan Tuhan, benarkah Tuhan dapat ditemui, dan bermacam-macam istilah lain yang sering dijumpai dalam bertasawuf sangat mempengaruhi dalam berpikiran. 

Beberapa masalah yang berkaitan dengan Tuhan yang sering kita ketahui diantaranya:
“Allah adalah Cahaya diatas Cahaya” (QS An-Nur 24:35)
“Allah itu Esa” (QS Al-Baqarah 2:163)
“Allah itu tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya” (QS Asy-Syuura 42:11)
“…Sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat” (QS Thoha 20:46)

kebimbangan dan keraguan akibat tidak terjawabnya permasalahan diatas, maka tumpukan permasalahan itu menjadi “nyampah” di bukit thursinanya. Hal ini bila kita biarkan terus menerus akan mempengaruhi pencerahan rohani kita. Dihalaman muka telah disinggung tentang adanya kekuatan Yang Maha Besar mempengaruhi kehidupan kita. Kekuatan Yang Maha Besar itulah yang sering kita sebut sebagai Tuhan, Allah Azza Wajalla.

Untuk mempermudah memecahkan masalah Ketuhanan, baiklah kita menelaah hal-hal yang biasa sehari-hari ada disekitar kita dan juga sering kita temui:
1. Sebuah Hitungan (Ilmu Pasti) Sebagai Perumpamaan
Telah kita ketahui bersama bahwa angka itu terdiri dari angka Nol (0) sampai angka sembilan (9). angka Nol (0) adalah merupakan angka yang paling terkecil. Sedangkan angka sembilan (9) adalah merupakan angka yang terbesar. Angka Nol (0) berarti “kosong” atau “nihil” atau “tidak ada”. Namun kenyatannya wujudnya ada, dan angka ini tidak bisa dibuang begitu saja meskipun mempunyai makna “kosong”. Tetapi pada prakteknya angka Nol (0) sesungguhnya mempunyai makna yang “sangat besar” nilainya. Nilai ini lebih besar dibandingkan dengan angka yang lain.
Sebagai contoh:
Dalam angka 1000 angka ini terdiri dari angka satu (1) ditambah dengan angka Nol (0) tiga buah dibelakangnya. Tetapi bila angka Nol (0) yang terakhir itu kita buang, hasilnya: nilai dari 1000 kini hanya tinggal 100. Ini berarti sebuah angka Nol (0) yang dihilangkan tadi nilainya adalah 900 yaitu 1000 –100 (seribu dikurangi 100).
Dari kenyataan yang ada, maka dapatlah disimpulkan: angka Nol (0) itu berdiri sendiri artinya “tidak tampak” atau “tidak ada” alias “kosong” tapi pada kenyataannya “ada dan berwujud”. Dan bila angka Nol (0) itu sebagai pembanding dari suatu rangkaian angka-angka, maka nilai Nol (0) itu adalah lebih besar dari nilai yang ada. Nol (0) ditulis dalam bentuk lingkaran-lingkaran yang sempurna. Dalam lingkaran itu titik awal bertemu dengan titik akhir. Nol (0) merupakan angka “kasunyatan”, angka kebenaran, angka yang absolut. Angka sempurna yang tidak dapat dinilai lagi, karena memang nilainya tidak terhingga. Itulah Allah.

2. Matahari Sebagai Perumpamaan
Kita perhatikan keadaan alam yang ada disekeliling kita, dan kita ambil “matahari” sebagai contoh perumpamaan. Matahari adalah sebagai “sumber Cahaya” yang memberikan penerangan kepada alam sekitarnya. Ketika kedudukan matahai persis diubun-ubun langit, dengan cahayanya yang memancar tanpa terhalang awan sedikitpun, ambillah beberapa gelas yang telah diisi air putih. Letakkan gelas tersebut ditengah-tengah pelataran rumah kita.

Kenyataan yang terjadi adalah bayangan matahari terlihat ada didalam gelas tersebut sesuai dengan jumlah gelas yang tersedia. Kita tambah lagi gelas yang telah diisi air putih pula dan letakkan gelas itu ditempat yang sama secara berjauhan, maka bayangan matahari juga akan muncul di gelas tersebut.

Sedangkan kita mengetahui dan meyakini bahwa matahari itu hanyalah satu. Andaikan gelas yang ada itu kita pecahkan, kemudian air putih yang ada dalam gelas tersebut tumpah ke tanah lapangan, maka kini muncul pertanyaan kemana perginya matahari yang berada digelas tersebut?

Sebagaimana diatas bahwa cahaya adalah sifat dari matahari yang mengakibatkan adanya bayangan dari matahari itu sendiri. Maka bila seandainya air yang berada dalam gelas itu “keruh” maka bayangannyapun akan “buram”, bila airnya bergoyang, maka bayangannyapun akan beriak-riak, tetapi bila airnya “tenang dan jernih”, maka bayangannyapun akan “tampak nyata”.

Hal ini tak bedanya dengan manusia dan sifat Allah. Bila qalbu (batin)nya gelap, maka akan gelap pulalah pengetahuannya terhadap sifat Tuhannya, terkadang hilang pulalah kepercayaan kepada Tuhan dan tidak mempercayai akan kekuasaan Tuhan. Bila batinnya goyang (ragu-ragu) maka akan jadilah manusia yang meragukan akan sifat-sifat Tuhan dan kekuasaan-Nya. Tetapi sebaliknya, bila batinnya mantap, hatinya bersih dan jernih, iman dan keyakinannya kuat, maka segala sifat yang dikehendaki Tuhanpun akan tampak nyata dan berbekas dalam jiwanya. Manusia seperti inilah yang mempunyai ketenangan jiwa, mempunyai nafsu mutmainah dalam dirinya, hidup dengan penuh gairah dan semangat, tak mengenal putus asa.

Sifat Tuhan melingkupi segala hasil ciptaan-Nya, seperti sifat matahari yaitu “Cahaya” yang menerangi semua gelas yang berisi air berapapun jumlahnya, semua akan kena sinarnya dan seluruhnya akan mendapat bayangannya. Dalam kehidupan manusiapun tak ada bedanya. Manusia seluruhnya diliputi oleh sifat si “Penciptanya”, dan sebagai bayangan si “mataharinya”. Bukan bayangan Tuhannya, melainkan “zat hidup ciptaan Tuhan” yang terdapat didalam tubuh setiap umat-Nya. Dan bila si tubuh itu telah hancur maka “zat hidupnya” itupun akan kembali kepada di “Penciptanya” yaitu Allah.


Sumber : Pusat Kajian Tasawuf "Nurul Khatami"
 
 
Oleh : Abu Irsyad

Seluruh umat manusia di muka bumi ini telah menyadari bahwa ada Satu Kekuatan Yang Maha Besar, yang telah menciptakan, mengatur dan memelihara Alam semesta ini beserta segala isinya. Tetapi sayangnya, keyakinan itu tidak diteruskan dengan upaya untuk membuktikan sekaligus mengenal kepada Keberadaan Dzat yang mempunyai Kekuatan Yang Maha Besar tersebut, sehingga pada akhirnya keyakinan akan adanya Sang Maha Pencipta itu, hanya sekedar menjadi kepercayaan yang bersifat “lipstick” atau sebatas di mulut saja, tanpa mengakar di dalam Rohani dan aktivitas kehidupan umat manusia.

“Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya….,” (QS Al Hajj 22 : 74)

“….. kecuali hanya menyembah Asma-Nya yang kamu dan nenek moyangmu kamu buat-buat….” (QS Yusuf 12 : 40 ).

“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya sebatas huruf atau tulisan … “. ( QS Al Hajj 22 : 11 )

Ketika terlahir di atas dunia, kita sudah dihadapkan oleh nilai-nilai kemasyarakatan, agama, dan moral yang mau tidak mau kita telah berada di dalamnya dan kita dituntut untuk mengambil sikap, apakah sikap menerima, menolak ataupun sikap netral terhadap nilai-nilai tersebut. Tetapi harus diingat, bahwa kita terlahir di atas dunia ini sebagai salah satu dari suku atau ras bangsa tertentu yang ada di dunia ini, yang yang menentukannya adalah bukan diri kita sendiri. Begitu pula tentang kelahiran kita sebagai seorang anak bayi di dalam sebuah keluarga, apakah keluarga itu beragama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha ataupun sebuah keluarga yang tidak beragama, proses itu semuanya yang menentukan bukan diri kita sendiri. Setelah kita lahir dan menginjak usia akhil baligh barulah kita secara perlahan-lahan menyadari bahwa kita telah ditakdirkan menjadi apakah itu orang Eropa, Asia, Amerika, Australia atau orang Afrika. Begitu pula dengan agama orang tua kita. Dan biasanya, orang tua kita berusaha untuk menanamkan nilai-nilai agama yang dianutnya kepada kita (anaknya) sendini mungkin, sehingga secara sadar ataupun tidak sadar kita telah memeluk agama yang dianut oleh orang tua kita. Inilah yang disebut bahwa kita beragama karena keturunan.

Setelah menginjak dewasa, barulah kita menggunakan akal dan kehendak yang merdeka untuk mencermati kembali agama yang kita anut sejak kecil, sehingga saat itulah kita memulai proses pencarian terhadap kebenaran yang Absolut. Tetapi sayangnya, sebagian besar manusia sudah puas dengan agama yang dianutnya tanpa mau mencermati kebenaran agama yang dianutnya, bahkan yang lebih parah lagi mereka terjebak dalam sikap fanatik buta terhadap agamanya masing-masing, yang pada gilirannya akan menimbulkan sikap saling membenarkan agamanya masing-masing dan menyalahkan agama orang lain,padahal umat manusia itu sebenarnya adalah umat yang satu.

“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih”. (QS Yunus 10 : 19)

“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan kebenaran, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman tentang hal yang mereka perselisihan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada Jalan yang Lurus”. (QS Al Baqarah 2 : 213)

Beda pendapat diantara manusia tentang kebenaran adalah suatu hal yang manusiawi dan wajar, hal ini sesuai dengan firman Allah, yakni :

Sesungguhnya kamu sekalian selalu dalam keadaan berbeda-beda pendapat”. (QS Adz Azariyaat 51 : 8)

Perbedaan pendapat tentang suatu kebenaran, diantara umat manusia sangat dimaklumi oleh Allah. Bahkan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda :

“Perbedaan pendapat didalam umatku adalah rahmat”. (Al Hadits)

Tetapi perbedaan pendapat yang menjurus kepada perpecahan dan permusuhan, sangatlah dibenci Allah.

“…janganlah kamu termasuk golongan orang-orang yang mempersekutukan Allah (yaitu) orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS Ar Ruum 30 : 32 – 32).

Berdasarkan ayat tersebut di atas, dapat simpulkan bahwa salah satu sifat orang yang menyekutukan Allah adalah orang-orang yang suka memecah belah agamanya dan ia merasa paling benar, paling suci dari golongan lainnya. Seluruh golongan di luar golongannya dianggapnya sebagai golongan batil dan ia bangga atas kebenaran golongannya. Padahal, Yang Paling Haq, Yang Paling Suci adalah Allah SWT sajalah sebagai satu-satunya Dzat yang menjadi sesembahan umat manusia.

“….sesungguhnya Allah adalah kebenaran (Al Haq) dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah, itulah yang batil. Sesungguhnya Dia-lah Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (QS Luqman 31 : 30).

“…kebenaran itu datangnya dari Allah….” ( QS Al Baqarah 2 : 147 ).
Ayat-ayat di atas secara tegas mengatakan bahwa Al Haq yang sebenarnya adalah Allah sendiri. Jadi sangatlah keliru apabila ada orang yang mengaku bahwa dirinyalah yang paling benar, atau mereka mengaku bahwa golongannya yang paling benar. Bahkan berdasarkan ayat tersebut di atas, orang atau golongan yang mengklaim atau mengaku paling benar, sebenarnya justru telah menyekutukan Allah, karena ia atau mereka telah mensejajarkan dirinya atau golongannya setara dengan Allah. Padahal Allah telah berfirman dalam Al Qur’an :

“….tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. (QS An Najm 53 : 32)

Jadi, janganlah kita mengklaim bahwa diri atau golongan kitalah yang paling benar, haq dan suci, sedangkan orang lain atau golongan lain dianggap batil, salah, tidak suci dan kafir. Sebab, yang paling mengetahui siapa yang haq, benar dan siapa yang termasuk kafir atau batil, adalah hanya Allah SWT sajalah yang dapat mengetahuinya.

“…maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”. (QS An Najm 53 : 32)

“Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS Al An’am 6 : 117)

Kembali ke masalah perbedaan di kalangan umat manusia, sebenarnya Allah telah membuatkan solusinya, yaitu agar manusia mengembalikan permasalahan tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia (masalah itu) kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS An Nissa 4 : 59)

Sebagian besar umat Islam berpendapat bahwa apabila kita berbeda pendapat dalam urusan kebenaran, maka perkara itu diselesaikan dengan cara menelaah kembali Al Qur’an dan Al Hadits. Tetapi anehnya setelah mereka sama-sama menelaah permasalahan tersebut ke dalam Al Qur’an dan Al hadits , tetap saja tidak ditemukan kata sepakat, bahkan perbedaan pendapat diantara mereka semakin tajam saja, walaupun dalil yang dipedomaninya sama. Hal ini sering terjadi di kalangan umat Islam dan juga di kalangan umat beragama lainnya, sehingga kita sering melihat di kalangan umat beragama terjadi perpecahan dan bergolongan dalam memahami ajaran agamanya. Khusus untuk umat Islam, perpecahan di antara umatnya sudah diramalkan oleh Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan sabda beliau :

“Sepeninggalku nanti, umat Islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka, hanya satu golongan yang benar yaitu yang berpegang teguh kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Al Hadts)

Seruan untuk kembali kepada Al Qur’an dan Al Hadits, apbila di kalangan umat Islam terjadi perbedaan pendapat, tidak akan berhasil dengan baik, jika kita belum mendapatkan Petunjuk dari Allah dalam menelaah dan mengkaji ajara-ajaran-Nya yang tertuang dalam Kitabullah, karena untuk bisa memahami Kalam Allah di dalam Al Qur’an diperlukan Petunjuk atau Wahyu terlebih dahulu, sesuai dengan firman Allah :

‘Dan tidak seorangpun manusia yang dapat memahami Kalimat Allah kecuali dengan bantuan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya siapa yang dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Kitab dan apa iman itu, tetapi Kami jadikan wahyu itu Cahaya, yang dengannya Kami memberi Petunjuk orang-orang yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau menunjuki kepada jalan yang lurus”. (QS Asy Syura 42 51-52)

“Maha Tinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa menyimpulkan isi Al Qur’an sebelum disempurnakan Wahyu kepadamu, dan katakanlah : “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (QS Thaha 20 114)

“Dan Allah akan menambah Petunjuk kepada mereka yang telah mendapat Petunjuk”. (QS Maryam 19 : 76)

“Dia telah menurunkan para malaikat dan Roh untuk membawa Wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya”. (QS An Nahl 16 : 2)

Berdasarkan ayat tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk membaca wahyu Allah harus dengan wahyu pula, sebab mustahil kita dapat memahami wahyu Allah tanpa menerima petunjuk atau wahyu dari Allah.

“Dan kebanyakan mereka hanyalah mengikuti persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak dapat mengalahkan kebenaran sedikitpun. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS Yunus 10 : 36)

Untuk mendapatkan wahyu dari Allah, dipelukan usaha yang sungguh-sungguh dari setiap umat manusia untuk mengenal dan menemui Allah, dengan bantuan dan bimbingan dari orang-orang yang ahli dalam bidang tersebut.

“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kamu kepada ahli Dzikir jika kamu tidak mengetahui”. (QS An Nahl 16 : 43)

Sumber : ajaransufi.blogspot.com

spiritual books religi