spiritual books religi
 
Oleh : Achmad Chodjim

Al-salâmu ‘alaykum wa rahmat Allâh wa barakâtuh,

Bila kata “muslim” di dalam Alquran disebut sekitar 40-an kali, tidak demikian dengan kata “mukmin”. Kata ini dalam berbagai variasinya disebut lebih dari 200 kali. Ini artinya manusia mukmin menjadi standar bagi masyarakat Islam. Dan, nyatanya Alquran senantiasa memanggil pengikut Nabi Muhammad dengan kalimat panggilan “hai orang-orang yang beriman”. Dan, tidak pernah pengikutnya dipanggil “hai orang-orang Islam”, “hai orang-orang yang berserah diri”.  

Orang-orang mukmin adalah manusia standar dalam masyarakat Islam. Kalau di zaman sekarang, orang-orang mukmin ini dapat dikategorikan kelas menengah. Jika orang muslim masuk kelompok terbawah, mukmin kelas menengahnya. Suatu negara tidak akan dapat maju bila kelas menengahnya sedikit atau semu. Dalam arti umum, mukmin adalah orang yang aktif beriman. Sedangkan seseorang disebut beriman bila dapat dipercaya, dan membuat aman kehidupan di sekitarnya.

Apa ciri-ciri orang mukmin secara Qurani?

Pertama, tidak melakukan kerusakan di bumi. Baik itu kerusakan lingkungan hidup maupun kerusakan harta benda. Di QS 2:11 dinyatakan dengan tegas kepada orang yang mengingkari kebenaran alias orang kafir agar tidak melakukan kerusakan di bumi. Ya, larangan inilah yang dinyatakan pertama kali untuk membedakan antara mukmin dan kafir. Orang kafir melakukan kerusakan, tapi mereka merasa berbuat kebajikan. Hal ini terjadi karena mereka tidak menyadari akibat tindakannya. Sedangkan orang mukmin memang harus membuat aman lingkungan hidupnya.

Kita lebih sensitif terhadap label mukmin daripada hidup sebagai seorang mukmin yang sejati. Padahal, kalau kita ini seorang mukmin, maka tetangga kita pasti aman dari gangguan lidah dan perbuatan kita. Kalau kita ini orang mukmin maka kita pasti mudah dipercaya oleh oranhg lain, karena orang mukmin pasti tidak berkhianat.

Kedua, orang-orang beriman tidak akan membunuh nabi-nabi (QS 2:91). Ayat seperti ini tidak bisa dipahami secara literal. Sebab, jika dipahami secara literal kita di zaman sekarang dapat dikatakan tidak menemukan nabi-nabi. Tidak membunuh nabi-nabi artinya kita tidak membunuh sifat kenabian yang ada di dalam diri kita. Kita harus tetap menjaga kehidupan nurani kita.

Dulu, nabi-nabi yang banyaknya ratusan ribu itu memang diutus untuk menjaga nuarani umat manusia. Para nabi itu membimbing umat manusia agar tetap di jalan hidup yang benar. Dan, Alquran pun tidak menyebut pembunuhan kepada para rasul, tapi pembnuhan terhadap nabi-nabi. Dan, kalau diartikan literal, maka nabi hanya ada di Arab. Sehingga hanya orang yang berbahasa Arab yang mengerti. Sekarang di Amerika banyak penulis buku yang berani menyebut dirinya “prophet”. Di Amerika atau di Barat mereka secara terbuka mengklaim sebagai “prophet” tetap dijaga keamanannya. Dan, klaim “prophet” bagi masyarakat Barat dipandang biasa.

Padahal, kalau kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, “prophet” adalah nabi. Dan, di Kitab Injil, para pengikut Yesus hanya diperingatkan agar tidak mengikuti para nabi palsu. Mereka sudah dewasa, maka mereka tidak marah bilamana ada orang menyatakan bahwa dirinya nabi. Tapi, kesadaran kita masih rendah, sehingga kita merasa tersinggung dan marah bila ada orang mengklaim dirinya nabi.

Kita lebih terbawa arus labelisasi daripada hakikat kenabian. Padahal, yang paling penting itu adalah menjaga kenabian yang ada di dalam diri kita masing-masing. Bila  nabi yang ada di dalam diri kita ini aman, maka batin kita akan hidup. Bila nabi di dalam diri kita sejahtera, maka mata batin kita akan semakin tajam. Telinga batin akan semakin peka. Dan, hati kita akan mampu menangkap sasmita atau tanda-tanda di alam. Dengan demikian, kita senantiasa siaga tanpa harus siaga.

 
Ketiga, orang beriman tidak melakukan riba (QS 2:278). Riba, arti asalnya adalah kelebihan atau tambahan di luar pokok pinjaman. Ini makna asal. Namun, ternyata yang diharamkan adalah riba yang menyengsarakan. Perhatikan ayatnya berikut.

 
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu memperoleh kejayaan hidup. (QS 3:130).

Dan, jagalah dirimu dari api yang disiapkan untuk orang-orang yang mengingkari kebenaran. (QS 3:131)

Ayat yang dikutip ini memang tidak terpisah dari QS 2:278. Memang, ada ulama yang menganggap bahwa dengan turunnya 2:278 itu berarti semua jenis riba diharamkan dalam agama Islam. Lebihan sekecil apa pun dilarang. Begitulah pandangan kaum literal terhadap riba. Namun, bagi yang memandang tak ada penghapusan sesama ayat Alquran, ayat-ayat itu dianggap saling menjelaskan. Yang satu menjelaskan bahwa dalam tatanan masyarakat Islam, riba itu pada prinsipnya diharamkan. Tapi, yang jelas-jelas haram ialah riba yang memberatkan.

Mungkin ada saudara kita yang menanyakan riba yang mana yang meringankan. Riba yang meringankan adalah riba yang memacu kemajuan perusahaan, perdagangan, dan merangsang tumbuhnya perekonomian. Nah, di sinilah kita tidak boleh terjebak dalam permainan kata. Kita harus jujur dalam memahami pengertian “tambahan bagi poko pinjaman”. Dengan kata lain, apakah semua tambahan disebut riba?

Kalau kita mengacu pada ayat 3:130, maka tambahan yang disebut riba adalah tambahan berlipat ganda yang menyebabkan ambruknya sistem perekonomian. Dalam ayat 2:275, orang yang memakan riba yang demikian itu dinyatakan sebagai orang yang berdiri dalam keadaan kerasukan setan. Artinya, bangunan kekayaan yang diperoleh dari riba itu sebenarnya tidak kokoh. Makanya, prinsip perbankan pada mulanya tidak untuk mencari kekayaan. Bank sebenarnya merupakan fondasi perekonomian bangsa bila bank hanya memungut bunga sebatas untuk menutupi ongkos produksinya. Tujuan utama bank adalah untuk membantu perkembangan perekonomian bangsa.

Yang dijelaskan di atas adalah makna harfiah riba. Sebenarnya, perintah untuk meninggalkan riba bagi orang-orang mukmin itu juga mengandung makna batin. Yaitu, setiap orang mukmin harus meninggalkan sikap hidup menumpuk kekayaan dengan cara mengeksploitasi orang-orang miskin. Inilah makna batinnya. Makanya, pada ayat 3:131 itu disebutkan bahwa kita ini wajib menjaga dan memelihara diri kita. Kalau diri kita ini tidak kita perhatikan, tidak kita rawat dengan baik, maka “api” senantiasa siap membakar diri kita. Dengan kata lain, hawa nafsu kita akan menjerat kehidupan kita bilamana kita tidak bijak dalam memelihara diri kita.

Kita perlu mawas diri agar kita dirahmati Allah. Coba perhatikan dengan seksama, apa ada riba bila kita tidak memperturutkan hawa nafsu kita. Jikalau kita tidak memiliki keinginan untuk mendapatkan kekayaan dengan menghisap orang miskin, niscaya kita tak akan menarik riba. Karena, hakikat riba ialah menambah harta dengan cara mengam-bil keuntungan dari penderitaan orang lain.

Keempat, orang-orang mukmin dilarang mengambil orang-orang kafir sebagai teman kepercayaannya (QS 3:28). Secara lahiriah, ayat ini mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, kita jangan menaruh kepercayaan kepada orang-orang “out-group” melebihi kepercayaan yang kita berikan kepada warga “in-group”. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga eksistensi masyarakat. Dan, hal ini sudah menjadi common sense, sudah menjadi pengetahuan atau pandangan umum.

Kata awliya’ pada ayat tersebut bukan berarti pemimpin tapi teman kepercayaan. Kata awliya’ juga bermakna teman yang lebih disukai. Ajaran ini bukan untuk menanam-kan kesukuan atau golongan. Tapi, ini merupakan sistem bangunan masyarakat. Jikalau kita lebih memilih orang-orang kepercayaan itu dari “out-group”, maka cepat atau lambat akan timbul renggangnnya hubungan di antara anggota “in-group”. Dan, kalau ini sampai terjadi, maka tinggal tunggu kebangkrutan eksistensinya.

Dalam ayat tersebut dikatakan bila kita memilih teman kepercayaan dari “out-group” daripada “in-group”, maka hubungan dengan Allah akan lenyap. Apa ini artinya? Artinya, bila kita lebih mempercayai orang dari luar kelompok daripada sesama anggota kelompok sendiri, maka jalinan persaudaraan yang telah dibangun Allah itu akan rusak, binasa. Memilih orang kepercayaan dari luar “grup” itu diperkenankan sepanjang ada “strategi” tertentu yang sudah ditetapkan. Misalnya, untuk menggali informasi atau untuk menimba pengetahuan.

Penutup ayat itu menyatakan bahwa Allah memperingatkan kita terhadap “Nafs-Nya.” Kata “Nafs-Nya” sama dengan Sifat-sifat atau Hakikat Diri-Nya. Sedangkan Hakikat Allah itu ya hukum kebenaran yang ditetapkan di alam raya. Jika kita tidak bekerja berdasarkan hukum kebenaran maka akibatnya sangat fatal atau mematikan. Makanya, kita pun harus paham hukum sosial yang sekarang ini bisa kita pelajari dari sosiologi maupun psikologi sosial.

Secara batiniah, kita diingatkan oleh Allah agar lebih mendengarkan suara batin sendiri daripada suara dari eksternal kita. Bila kita lebih mengandalkan suara luar atau “informasi katanya”, maka kita akan terputus dari kebenaran, akan terputus dari Allah. Kita boleh mengambil langkah untuk menerima suara dari luar, bila untuk menambah wawasan hidup kita. Dan, ini pun perlu penyaringan yang ketat. Dalam hal ini, kita benar-benar harus memperhatikan “sistem kebenaran” yang bekerja di alam ini. Bila tidak kita lakukan, ya akibatnya harus ditanggung sendiri.

Kelima, sikap hidup seorang mukmin itu berjihad (berjuang sungguh-sungguh) di Jalan Allah dan berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 4:95, 100). Jihad di Jalan Allah dilakukan dalam bentuk “harta dan jiwa”, perjuangan fisik dan non-fisik, lahir dan batin. Berjihad tidak berarti berperang dalam bentuk pertempuran untuk saling membunuh secara fisik. Berjuang adalah peperangan untuk mengalahkan tuntutan hawa nafsu atau ego kita.

Berjihad itu tidak berarti mencari “musuh” dari luar. Tapi, ini lebih menegaskan usaha mengalahkan musuh yang ada di dalam diri sendiri. Dan, berjihad itu harus dilakukan oleh setiap orang yang beriman. Lha, kalau makna jihad harta itu dipahami secara literal, maka orang-orang miskin tidak bisa melakukan jihad. Kalau masih mengandalkan hal-hal yang fisikal secara literal, maka itu kelasnya masyarakat muslim sebagaimana yang telah kita pelajari.

Jihad harus diserta hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini pun tidak bisa dipahami secara harfiah semata. Mengapa? Karena, kalau ini dipahami secara harfiah, sekarang ini Rasul Muhammad sudah tidak lagi hadir di tengah-tengah umatnya secara fisik. Padahal, ayat ini berlaku selamanya. Hijrah sebenarnya pergi meninggalkan daerah lama menuju daerah baru yang merdeka. Di daerah baru ini kita aman untuk dapat mengekspresikan jiwa kita. Kita bebas dari tekanan hidup.

Bila hijrah dimaknai secara harfiah, maka di zaman sekarang ini kita akan mengalami kesulitan dalam berhijrah. Lalu, apa makna hijrah secara batiniah? Secara batiniah, hijrah adalah tindakan untuk meninggalkan kebiasaan lama yang mengungkung diri menuju tatanan hidup yang bersumber pada Allah (hakikat hidup) dan tatanan hidup yang telah diteladankan oleh Rasulullah.


Sumber : www.serambi.co.id

 
Oleh : Achmad Chodjim

Marilah kita terapkan sifat-sifat mulia dalam kehidupan beragama mulai dari tataran yang paling rendah, yaitu “muslim”. Jika muslim merupakan batas terbawah dalam kehidupan beragama Islam, lalu apa yang paling tinggi? Dalam QS 33: 35 disebutkan bahwa mula-mula kita harus menjadi “muslim” dan puncaknya adalah kita menjadi “dzâkir” (jamak, dzâkirîn). Selanjutnya dzâkir ditulis “zakir”.

Dalam pengertian lahiriah seorang muslim adalah orang yang lahirnya telah mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah. Sedangkan seorang pezikir adalah orang yang menyebut-sebut nama Allah. Tentu bukan makna demikian yang kita tuju. Bila makna itu yang dimaksud, maka dalam kehidupan agama ini akan banyak terjadi kemunafikan. Kita tidak dapat membedakan kualitas orang muslim dan orang zakir. Padahal di Alquran yang satu ditempatkan di ujung bawah dan yang lainnya berada di ujung atas. Dari muslim menjadi zakir.

Sekarang perhatikan QS 46: 15 sebagai berikut.

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat ihsan kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 bulan sehingga apabila ia telah dewasa dan berumur 40 tahun, ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk menyukuri kenikmatan yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridoi. Berilah kebaikan (kedamaian) dalam hidupku dan kepada keturunanku. Sesungguhnya aku bertobat dan sesungguhnya aku termasuk orang muslim.”

 

Dari ayat tersebut kita dapat memahami makna muslim. Pertama, secara naluri manusia itu telah menerima pesan Ilahi. Dalam pesannya itu seorang manusia harus berbuat “ihsan” kepada kedua orangtuanya. Perhatikan kata “ihsan”. Jadi, memahami apa yang dilakukan oleh seorang muslim dari tinjauan makrifat, landasannya yang pertama adalah berbuat ihsan kepada kedua orangtua. Perbuatan baik tanpa pamrih. Perbuatan baik yang tumbuh dari rasa cinta. Ada ikatan batin antara anak dan orangtua.

Dalam ranah kehidupan nyata mungkin saja anak membenci orangtuanya. Tapi, kebencian itu lahir dari sikap lingkungan terhadap anak itu. Lingkunganlah yang membentuk kebencian. Yang lahir secara alami anak adalah cinta. Makanya, dalam bahasa Alquran tersebut perintah berbuat ihsan itu dinyatakan sebagai “wasiat berbuat baik”. Jadi, pada mulanya ketulusan hati itu bagian dalam manusia. Tapi, dalam sejarah hidup manusia, ketulusan itu sering tertutupi oleh kepentingan yang ditanamkan oleh orang-orang sekitarnya.

Kedua, kita diingatkan bahwa keberadaan kita ini tidak bisa dipisahkan oleh ibunda yang mengandung kita. Memang dalam ayat itu dinyatakan bahwa mengandung dan melahirkan itu dalam keadaan susah payah. Mengapa? Karena ayat tersebut bertumpu pada sistem kehamilan dan kelahiran secara alami. Namun, ayat itu pun tidak menafikan sistem modern dalam menangani kehamilan dan kelahiran. Si ibu tetap menanggung risiko, meski jauh berkurang daripada yang alami.

Sebenarnya, ada perbedaan melahirkan anak dengan cara bedah dan alami, yaitu menyangkut kasih sayang. Kalau secara alami, ikatan emosional ibu terhadap anak ketika melahirkan itu tetap ada. Ini pun harus dipahami melahirkan karena hasil proses yang diterima oleh masyarakat, bukan karena hamil yang tidak dikehendaki seperti di luar nikah, atau di luar keinginan.

Namun, yang penting dari peringatan ayat itu adalah setiap manusia hadir di bumi ini melalui proses kehamilan dan kelahiran dari ibunda. Inilah yang tidak boleh dilupakan dalam hidup ini. Dan, dari sinilah kita dapat menghayati makna hidup sebagai seorang muslim. Jadi, tekanannya bukan sebagai orang yang beragama Islam, tapi seorang muslim.

Ketiga, umur 40 tahun adalah umur terendah untuk memasuki kehidupan sebagai seorang muslim. Tentu ini bukan makna lahiriah. Sebab, secara lahiriah seseorang telah memeluk agama Islam sejak bayi bila ia dilahirkan di lingkungan Islam. Ini adalah makna batiniah. Tinjauannya adalah makrifat, dan bukan syariat. Juga, ayat ini berlaku bagi semua manusia agama apa pun yang dipeluknya. Jadi, ayat ini merupakan pekabaran bagi umat manusia di mana saja berada.

Memang ada pepatah "Live begins at fourty", hidup dimulai pada saat berumur 40 tahun. Tapi, kita terlalu sulit mencari data yang menunjukkan demikian. Banyak orang yang sukses sebelum umur itu, dan banyak pula yang tidak pernah sukses meski sudah jauh dari umur 40 tahun. Sedangkan pada ayat tersebut ditegaskan bahwa umur 40 tahun merupakan basis untuk berdoa.

Dus bukan tahunnya yang sudah dilalui untuk menjadi seorang muslim, tapi tahap-tahap kehidupannya. Tahap awal adalah tahap bayi. Tahap menjadi muslim karena "taat" berdasarkan hukum di alam. Ia lahir sebagai perempuan atau bayi bukan atas kesadaran dirinya, tapi yang bekerja kesadaran bilogisnya. Ia bisa tengkurap, terlentang, duduk, berdiri, berjalan dan berlari karena proses kesadaran bilogisnya. Inilah tipe muslim yang pertama dalam kehidupan seseorang. Tahap awal ini merupakan tahap muslim berda-sarkan perkembangan nafs al-amarah. Tahap sesuai dengan "cetak biru" kehidupan.

Masuklah tahap ke-2, yaitu tahap perkembangan diri berdasarkan nafs al-lawwa-mah. Inilah tahap pengisian. Tahap pembelajaran dalam hidup. Seseorang dalam tahap ini menyerap dunia luar dirinya. Orang-orang dewasa atau anak-anak lain akan dijadikan guru-gurunya. Di sinilah orangtua harus-harus benar-benar menjadi orang yang arif dan bijaksana agar anak tidak masuk ke kehidupan yang penuh bahaya.

Ada sebuah cerita. Suatu hari ada seorang ayah --dari dua anak lelaki yang masih balita-- yang lagi mengerjakan kurban hari raya idhul adha. Ia sendiri yang memotong kambing gibasnya yang dijadikan hewan kurban. Pada saat menyembelih hewan kurban itu disaksikan oleh salah satu anaknya (si sulung). Suatu hari si adik tanya kepada si kakak tentang caranya melakukan korban. Maka, si kakak memberitahu adiknya bahwa untuk melakukan kurban itu harus diperagakan. Singkatnya cerita, kedua kakak beradik itu pergi ke sutau tempat sambil membawa pisau. Dan diperagakanlah cara menyembelih kurban itu hingga adiknya tewas.

Apa yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Yaitu, kita harus arif dalam mengerjakan sesuatu, meskipun yang kita kerjakan itu kebaikan. Mengapa? Ketika masih kanak-kanak banyak hal yang dilihat oleh anak tapi belum dipahami sepenuhnya makna sebuah tindakan. Jadi, kalau tidak hati-hati, tindakan yang baik tapi ketika ditiru anak-anaknya justru perbuatan yang membahayakan kehidupan.

Apa yang dipaparkan tersebut hanyalah salah satu saja dari perbuatan baik tapi berbahaya bagi kehidupan. Tentu, masih banyak lagi. Pernahkah kita mendengar dua anak kecil yang berlainan jenis sedang main kawin-kawinan? Ini bukan sekadar lagu, tapi benar-benar praktik kawin pada anak yang masih kelas 2 SD (yang umurnya baru 7-8 th). Hal semacam ini terjadi karena kecerobohan orangtua.

Makanya, dulu makrifat itu tidak boleh diajarkan kepada anak kecil atau yang akal-pikirannya belum bisa mengendapkan makna sebuah kejadian. Makrifat juga tidak diajarkan kepada mereka yang gelora emosinya masih tinggi. Ini dimaksudkan untruk menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Selanjutnya, nafs al-mulhamah. Untuk menjadi muslim di tahap ini kita harus menerangkan kepada anak-anak tentang "apa dan mengapa". Jika anak-anak yang masih memerankan nafs al-lawwamah itu menyerap apa saja yang ditangkap oleh indranya, tidak demikian bagi mereka yang sudah bangkit nafs al-lawwamahnya. Mereka secara alami akan mempertanyakan makna peristiwa dan kejadian di sekelilingnya. Maknya, kita yang tua-tua ini hendaknya tidak melakukan atau memberikan jawaban hanya sekadar untuk pemanis bibir. Kita harus jujur. Dan kejujuran sebenarnya merupakan bentuk kemusliman. Ya, sebenarnya orang yang jujur itu merupakan wujud kepasrahan diri kepada Tuhan. Makanya, kita harus belajar mengatakan "tidak" atau "ya" dengan benar, bukan sebagai pelipur lara.

 

Keempat, sudah tumbuh nafs al-muthmainah. Pada saat ini gejolak emosi mulai stabil. Gelora darah muda berjalan tenang. Fase "apa dan mengapa" sudah dilampaui, maka ia mulai memikirkan bagaimana hidup yang benar. Pada tahap inilah seseorang disebut memasuki umur 40, yaitu memasuki wilayah tobat untuk menjadi muslim. Coba, perhatikan kembali ayat di atas. Kata "doa" tidak berarti sekadar mengucapkan kata-kata sebagai permohonan. Doa juga berupa perbuatan!

 “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk menyukuri kenikmatan yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridoi. Berilah kebaikan (kedamaian) dalam hidupku dan kepada keturunanku."

Pada tahap kehidupan mutmainah seseorang mulai merenungkan dirinya, dan mulai memikirkan bagaimana berbuat yang benar dan pener. Yaitu, perbuatan yang benar dan dilakukan pada saat waktu dan tempat yang tepat. Dalam ayat tersebut dinyatakan dengan permohonan untuk diberi petunjuk agar ia mampu menyukuri kenikmatan yang dianuge-rahkan oleh Tuhan kepadanya.

Menyukuri kenikmatan ternyata bukan hanya yang diberikan kepada dirinya, tapi juga kepada kedua orangtuanya. Juga mohon dianugerahi kebaikan, baik untuk dirinya maupun untuk keturunannya. Ada proses yang harus dikerjakan secara fisik, pemikiran, dan spiritual. Masing-masing sifat terpuji yang telah kita bahas sebenarnya mulai diterapkan pada fase kehidupan sebagai seorang muslim. Memang, proporsinya mungkin masih kecil, tapi jika tidak dimulai dari yang kecil kita tak akan sanggup melakukan sekaligus apa yang disebut perbuatan terpuji itu.

Ingat, kata "menyukuri" tidak sama dengan mengucapkan kata "terima kasih". Maka, pada ayat tersebut sang hamba memohon "petunjuk untuk menyukuri anugerah". Jadi, ada petunjuk untuk bersyukur. Jika itu berupa anugerah kesehatan, maka cara untuk menjaga kesehatan itu merupakan cara bersyukur. Bila ada anugerah kekayaan, maka cara memanfaatkan kekayaan bagi sebesar-besar kemakmuran keluarga dan lingkungan-nya merupakan cara bersyukur.

Lalu, apakah berdoa agar ditunjuki cara bersyukur itu cukup diungkapkan dengan doa? Tentu saja, tidak! Harus ada proses belajar dalam hidup ini. Ya, belajar memelihara kesehatan, belajar mengatur keharmonisan rumahtangga, belajar untuk mendidik anak agar dicucuri anugerah "islah" atau kehidupan yang damai, dan lain sebagainya. Jika, semua yang kita lakukan itu wujud dari kepasrahan yang dituangkan dalam wujud usaha, maka sebenarnya kita telah mengawali kehidupan sebagai seorang muslim dari sudut makrifat. Dan, sudah pasti upaya ini benar dari tinjauan syariat!

Untuk itu marilah kita simak kembali QS 2:133.

Sumber : www.seerambi.co.id

spiritual books religi