spiritual books religi
 
 
Oleh : Abu Irsyad

Seluruh umat manusia di muka bumi ini telah menyadari bahwa ada Satu Kekuatan Yang Maha Besar, yang telah menciptakan, mengatur dan memelihara Alam semesta ini beserta segala isinya. Tetapi sayangnya, keyakinan itu tidak diteruskan dengan upaya untuk membuktikan sekaligus mengenal kepada Keberadaan Dzat yang mempunyai Kekuatan Yang Maha Besar tersebut, sehingga pada akhirnya keyakinan akan adanya Sang Maha Pencipta itu, hanya sekedar menjadi kepercayaan yang bersifat “lipstick” atau sebatas di mulut saja, tanpa mengakar di dalam Rohani dan aktivitas kehidupan umat manusia.

“Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya….,” (QS Al Hajj 22 : 74)

“….. kecuali hanya menyembah Asma-Nya yang kamu dan nenek moyangmu kamu buat-buat….” (QS Yusuf 12 : 40 ).

“Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya sebatas huruf atau tulisan … “. ( QS Al Hajj 22 : 11 )

Ketika terlahir di atas dunia, kita sudah dihadapkan oleh nilai-nilai kemasyarakatan, agama, dan moral yang mau tidak mau kita telah berada di dalamnya dan kita dituntut untuk mengambil sikap, apakah sikap menerima, menolak ataupun sikap netral terhadap nilai-nilai tersebut. Tetapi harus diingat, bahwa kita terlahir di atas dunia ini sebagai salah satu dari suku atau ras bangsa tertentu yang ada di dunia ini, yang yang menentukannya adalah bukan diri kita sendiri. Begitu pula tentang kelahiran kita sebagai seorang anak bayi di dalam sebuah keluarga, apakah keluarga itu beragama Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha ataupun sebuah keluarga yang tidak beragama, proses itu semuanya yang menentukan bukan diri kita sendiri. Setelah kita lahir dan menginjak usia akhil baligh barulah kita secara perlahan-lahan menyadari bahwa kita telah ditakdirkan menjadi apakah itu orang Eropa, Asia, Amerika, Australia atau orang Afrika. Begitu pula dengan agama orang tua kita. Dan biasanya, orang tua kita berusaha untuk menanamkan nilai-nilai agama yang dianutnya kepada kita (anaknya) sendini mungkin, sehingga secara sadar ataupun tidak sadar kita telah memeluk agama yang dianut oleh orang tua kita. Inilah yang disebut bahwa kita beragama karena keturunan.

Setelah menginjak dewasa, barulah kita menggunakan akal dan kehendak yang merdeka untuk mencermati kembali agama yang kita anut sejak kecil, sehingga saat itulah kita memulai proses pencarian terhadap kebenaran yang Absolut. Tetapi sayangnya, sebagian besar manusia sudah puas dengan agama yang dianutnya tanpa mau mencermati kebenaran agama yang dianutnya, bahkan yang lebih parah lagi mereka terjebak dalam sikap fanatik buta terhadap agamanya masing-masing, yang pada gilirannya akan menimbulkan sikap saling membenarkan agamanya masing-masing dan menyalahkan agama orang lain,padahal umat manusia itu sebenarnya adalah umat yang satu.

“Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih”. (QS Yunus 10 : 19)

“Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan) maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pembawa kabar gembira dan peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan kebenaran, untuk memberikan keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman tentang hal yang mereka perselisihan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada Jalan yang Lurus”. (QS Al Baqarah 2 : 213)

Beda pendapat diantara manusia tentang kebenaran adalah suatu hal yang manusiawi dan wajar, hal ini sesuai dengan firman Allah, yakni :

Sesungguhnya kamu sekalian selalu dalam keadaan berbeda-beda pendapat”. (QS Adz Azariyaat 51 : 8)

Perbedaan pendapat tentang suatu kebenaran, diantara umat manusia sangat dimaklumi oleh Allah. Bahkan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda :

“Perbedaan pendapat didalam umatku adalah rahmat”. (Al Hadits)

Tetapi perbedaan pendapat yang menjurus kepada perpecahan dan permusuhan, sangatlah dibenci Allah.

“…janganlah kamu termasuk golongan orang-orang yang mempersekutukan Allah (yaitu) orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” (QS Ar Ruum 30 : 32 – 32).

Berdasarkan ayat tersebut di atas, dapat simpulkan bahwa salah satu sifat orang yang menyekutukan Allah adalah orang-orang yang suka memecah belah agamanya dan ia merasa paling benar, paling suci dari golongan lainnya. Seluruh golongan di luar golongannya dianggapnya sebagai golongan batil dan ia bangga atas kebenaran golongannya. Padahal, Yang Paling Haq, Yang Paling Suci adalah Allah SWT sajalah sebagai satu-satunya Dzat yang menjadi sesembahan umat manusia.

“….sesungguhnya Allah adalah kebenaran (Al Haq) dan sesungguhnya apa saja yang mereka sembah selain Allah, itulah yang batil. Sesungguhnya Dia-lah Allah Yang Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (QS Luqman 31 : 30).

“…kebenaran itu datangnya dari Allah….” ( QS Al Baqarah 2 : 147 ).
Ayat-ayat di atas secara tegas mengatakan bahwa Al Haq yang sebenarnya adalah Allah sendiri. Jadi sangatlah keliru apabila ada orang yang mengaku bahwa dirinyalah yang paling benar, atau mereka mengaku bahwa golongannya yang paling benar. Bahkan berdasarkan ayat tersebut di atas, orang atau golongan yang mengklaim atau mengaku paling benar, sebenarnya justru telah menyekutukan Allah, karena ia atau mereka telah mensejajarkan dirinya atau golongannya setara dengan Allah. Padahal Allah telah berfirman dalam Al Qur’an :

“….tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia”. (QS An Najm 53 : 32)

Jadi, janganlah kita mengklaim bahwa diri atau golongan kitalah yang paling benar, haq dan suci, sedangkan orang lain atau golongan lain dianggap batil, salah, tidak suci dan kafir. Sebab, yang paling mengetahui siapa yang haq, benar dan siapa yang termasuk kafir atau batil, adalah hanya Allah SWT sajalah yang dapat mengetahuinya.

“…maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”. (QS An Najm 53 : 32)

“Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang tersesat dari Jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS Al An’am 6 : 117)

Kembali ke masalah perbedaan di kalangan umat manusia, sebenarnya Allah telah membuatkan solusinya, yaitu agar manusia mengembalikan permasalahan tersebut kepada Allah dan Rasul-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia (masalah itu) kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS An Nissa 4 : 59)

Sebagian besar umat Islam berpendapat bahwa apabila kita berbeda pendapat dalam urusan kebenaran, maka perkara itu diselesaikan dengan cara menelaah kembali Al Qur’an dan Al Hadits. Tetapi anehnya setelah mereka sama-sama menelaah permasalahan tersebut ke dalam Al Qur’an dan Al hadits , tetap saja tidak ditemukan kata sepakat, bahkan perbedaan pendapat diantara mereka semakin tajam saja, walaupun dalil yang dipedomaninya sama. Hal ini sering terjadi di kalangan umat Islam dan juga di kalangan umat beragama lainnya, sehingga kita sering melihat di kalangan umat beragama terjadi perpecahan dan bergolongan dalam memahami ajaran agamanya. Khusus untuk umat Islam, perpecahan di antara umatnya sudah diramalkan oleh Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan sabda beliau :

“Sepeninggalku nanti, umat Islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka, hanya satu golongan yang benar yaitu yang berpegang teguh kepada Allah dan Rasul-Nya”. (Al Hadts)

Seruan untuk kembali kepada Al Qur’an dan Al Hadits, apbila di kalangan umat Islam terjadi perbedaan pendapat, tidak akan berhasil dengan baik, jika kita belum mendapatkan Petunjuk dari Allah dalam menelaah dan mengkaji ajara-ajaran-Nya yang tertuang dalam Kitabullah, karena untuk bisa memahami Kalam Allah di dalam Al Qur’an diperlukan Petunjuk atau Wahyu terlebih dahulu, sesuai dengan firman Allah :

‘Dan tidak seorangpun manusia yang dapat memahami Kalimat Allah kecuali dengan bantuan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya siapa yang dikehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Kitab dan apa iman itu, tetapi Kami jadikan wahyu itu Cahaya, yang dengannya Kami memberi Petunjuk orang-orang yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya engkau menunjuki kepada jalan yang lurus”. (QS Asy Syura 42 51-52)

“Maha Tinggi Allah Raja yang sebenar-benarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa menyimpulkan isi Al Qur’an sebelum disempurnakan Wahyu kepadamu, dan katakanlah : “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan”. (QS Thaha 20 114)

“Dan Allah akan menambah Petunjuk kepada mereka yang telah mendapat Petunjuk”. (QS Maryam 19 : 76)

“Dia telah menurunkan para malaikat dan Roh untuk membawa Wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya”. (QS An Nahl 16 : 2)

Berdasarkan ayat tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk membaca wahyu Allah harus dengan wahyu pula, sebab mustahil kita dapat memahami wahyu Allah tanpa menerima petunjuk atau wahyu dari Allah.

“Dan kebanyakan mereka hanyalah mengikuti persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak dapat mengalahkan kebenaran sedikitpun. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (QS Yunus 10 : 36)

Untuk mendapatkan wahyu dari Allah, dipelukan usaha yang sungguh-sungguh dari setiap umat manusia untuk mengenal dan menemui Allah, dengan bantuan dan bimbingan dari orang-orang yang ahli dalam bidang tersebut.

“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kamu kepada ahli Dzikir jika kamu tidak mengetahui”. (QS An Nahl 16 : 43)

Sumber : ajaransufi.blogspot.com

Anyone know where I can find more information?

Reply
10/12/2013 05:45:15 am

Thanks to your post, I found Weebly and made my own blog too, thanks.

Reply
Thom
7/10/2016 11:31:32 am

Dari semua keterangan diatas hendaklah dan seharusnya dirujuk kepada keadaan pasca wafatnya Rasul SAWW. Sebab akar perselisihan umat yang ada sekarang tidak lepas atas tragedi itu, dikarenakan tidak diindahkannya arahan Nabi untuk mencegah kesesatan umat. Tapi karena ambisi pribadi dan rasa dengki terhadap Nabi dan keluarganya sebagian sahabat membuang perintah Nabi tsb kebelakang punggungnya. Jadi langkah yang bijak bagi orang yang berakal dalam melihat kenyataan islam hari ini seharusnya bercermin kembali kepada peristiwa pasca wafatnya Rasul SAWW dengan bersandar kepada perintahnya untuk mencegah kesesatan umat, yang mana salah satu sabdanya masih asing ditelinga kebanyakan orang sehingga mereka terabaikan bahkan terlupakan yang menyebabkan kesesatan itu:

HADITH AL-THAQALAIN

Ertinya:

“Sesungguhnya aku hampir-hampir dipanggil lalu aku menerimanya dan sesungguhnya aku meninggalkan kepadamu dua perkara yang sangat berharga, Kitab Allah ‘Azza wa Jalla dan Itrahku; satu ikatan yang bersambung daripada langit ke bumi dan ‘Itrahku ialah Ahl Baytku, dan bahawa Allah yang Maha Penyayang memberitahu aku bahawa kedua-dua perkara tidak akan berpisah sehingga keduanya dikembalikan kepada aku di Telaga Haud. Maka tunggulah (balasan Allah) dengan sebab kamu menyalahi aku pada kedua-duanya.”


Diriwayatkan olah al-Tirmizi dalam Sahihnya Manaqib Ahlul Bayt, jld.2.h.360 dengan sanadnya daripada Zaid bin Arqam. Di akhir hadith ini al-Tirmizi berkata hadith ini baik (hasan) tetapi Gharib. Al-Hakim mengeluarkan hadith ini dalam Mustadrak, jld.3, h.109 dengan sanadnya daripada Zaid bin Arqam juga; Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, hadith marfu’ daripada Abu Said al-Khudri, jld.3 h.17; al-Tabari dalam Mu’jam al-Kabir, jld.1.h.129 dalam manuskrip; Muhibb al-Tabari memetik daripada Ahmad dalam Zakha’ir, h.16. dll

Reply



Leave a Reply.


spiritual books religi