spiritual books religi
 
Oleh : Achmad Chodjim

Marilah kita terapkan sifat-sifat mulia dalam kehidupan beragama mulai dari tataran yang paling rendah, yaitu “muslim”. Jika muslim merupakan batas terbawah dalam kehidupan beragama Islam, lalu apa yang paling tinggi? Dalam QS 33: 35 disebutkan bahwa mula-mula kita harus menjadi “muslim” dan puncaknya adalah kita menjadi “dzâkir” (jamak, dzâkirîn). Selanjutnya dzâkir ditulis “zakir”.

Dalam pengertian lahiriah seorang muslim adalah orang yang lahirnya telah mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah. Sedangkan seorang pezikir adalah orang yang menyebut-sebut nama Allah. Tentu bukan makna demikian yang kita tuju. Bila makna itu yang dimaksud, maka dalam kehidupan agama ini akan banyak terjadi kemunafikan. Kita tidak dapat membedakan kualitas orang muslim dan orang zakir. Padahal di Alquran yang satu ditempatkan di ujung bawah dan yang lainnya berada di ujung atas. Dari muslim menjadi zakir.

Sekarang perhatikan QS 46: 15 sebagai berikut.

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat ihsan kepada kedua orangtuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 bulan sehingga apabila ia telah dewasa dan berumur 40 tahun, ia berdoa: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk menyukuri kenikmatan yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridoi. Berilah kebaikan (kedamaian) dalam hidupku dan kepada keturunanku. Sesungguhnya aku bertobat dan sesungguhnya aku termasuk orang muslim.”

 

Dari ayat tersebut kita dapat memahami makna muslim. Pertama, secara naluri manusia itu telah menerima pesan Ilahi. Dalam pesannya itu seorang manusia harus berbuat “ihsan” kepada kedua orangtuanya. Perhatikan kata “ihsan”. Jadi, memahami apa yang dilakukan oleh seorang muslim dari tinjauan makrifat, landasannya yang pertama adalah berbuat ihsan kepada kedua orangtua. Perbuatan baik tanpa pamrih. Perbuatan baik yang tumbuh dari rasa cinta. Ada ikatan batin antara anak dan orangtua.

Dalam ranah kehidupan nyata mungkin saja anak membenci orangtuanya. Tapi, kebencian itu lahir dari sikap lingkungan terhadap anak itu. Lingkunganlah yang membentuk kebencian. Yang lahir secara alami anak adalah cinta. Makanya, dalam bahasa Alquran tersebut perintah berbuat ihsan itu dinyatakan sebagai “wasiat berbuat baik”. Jadi, pada mulanya ketulusan hati itu bagian dalam manusia. Tapi, dalam sejarah hidup manusia, ketulusan itu sering tertutupi oleh kepentingan yang ditanamkan oleh orang-orang sekitarnya.

Kedua, kita diingatkan bahwa keberadaan kita ini tidak bisa dipisahkan oleh ibunda yang mengandung kita. Memang dalam ayat itu dinyatakan bahwa mengandung dan melahirkan itu dalam keadaan susah payah. Mengapa? Karena ayat tersebut bertumpu pada sistem kehamilan dan kelahiran secara alami. Namun, ayat itu pun tidak menafikan sistem modern dalam menangani kehamilan dan kelahiran. Si ibu tetap menanggung risiko, meski jauh berkurang daripada yang alami.

Sebenarnya, ada perbedaan melahirkan anak dengan cara bedah dan alami, yaitu menyangkut kasih sayang. Kalau secara alami, ikatan emosional ibu terhadap anak ketika melahirkan itu tetap ada. Ini pun harus dipahami melahirkan karena hasil proses yang diterima oleh masyarakat, bukan karena hamil yang tidak dikehendaki seperti di luar nikah, atau di luar keinginan.

Namun, yang penting dari peringatan ayat itu adalah setiap manusia hadir di bumi ini melalui proses kehamilan dan kelahiran dari ibunda. Inilah yang tidak boleh dilupakan dalam hidup ini. Dan, dari sinilah kita dapat menghayati makna hidup sebagai seorang muslim. Jadi, tekanannya bukan sebagai orang yang beragama Islam, tapi seorang muslim.

Ketiga, umur 40 tahun adalah umur terendah untuk memasuki kehidupan sebagai seorang muslim. Tentu ini bukan makna lahiriah. Sebab, secara lahiriah seseorang telah memeluk agama Islam sejak bayi bila ia dilahirkan di lingkungan Islam. Ini adalah makna batiniah. Tinjauannya adalah makrifat, dan bukan syariat. Juga, ayat ini berlaku bagi semua manusia agama apa pun yang dipeluknya. Jadi, ayat ini merupakan pekabaran bagi umat manusia di mana saja berada.

Memang ada pepatah "Live begins at fourty", hidup dimulai pada saat berumur 40 tahun. Tapi, kita terlalu sulit mencari data yang menunjukkan demikian. Banyak orang yang sukses sebelum umur itu, dan banyak pula yang tidak pernah sukses meski sudah jauh dari umur 40 tahun. Sedangkan pada ayat tersebut ditegaskan bahwa umur 40 tahun merupakan basis untuk berdoa.

Dus bukan tahunnya yang sudah dilalui untuk menjadi seorang muslim, tapi tahap-tahap kehidupannya. Tahap awal adalah tahap bayi. Tahap menjadi muslim karena "taat" berdasarkan hukum di alam. Ia lahir sebagai perempuan atau bayi bukan atas kesadaran dirinya, tapi yang bekerja kesadaran bilogisnya. Ia bisa tengkurap, terlentang, duduk, berdiri, berjalan dan berlari karena proses kesadaran bilogisnya. Inilah tipe muslim yang pertama dalam kehidupan seseorang. Tahap awal ini merupakan tahap muslim berda-sarkan perkembangan nafs al-amarah. Tahap sesuai dengan "cetak biru" kehidupan.

Masuklah tahap ke-2, yaitu tahap perkembangan diri berdasarkan nafs al-lawwa-mah. Inilah tahap pengisian. Tahap pembelajaran dalam hidup. Seseorang dalam tahap ini menyerap dunia luar dirinya. Orang-orang dewasa atau anak-anak lain akan dijadikan guru-gurunya. Di sinilah orangtua harus-harus benar-benar menjadi orang yang arif dan bijaksana agar anak tidak masuk ke kehidupan yang penuh bahaya.

Ada sebuah cerita. Suatu hari ada seorang ayah --dari dua anak lelaki yang masih balita-- yang lagi mengerjakan kurban hari raya idhul adha. Ia sendiri yang memotong kambing gibasnya yang dijadikan hewan kurban. Pada saat menyembelih hewan kurban itu disaksikan oleh salah satu anaknya (si sulung). Suatu hari si adik tanya kepada si kakak tentang caranya melakukan korban. Maka, si kakak memberitahu adiknya bahwa untuk melakukan kurban itu harus diperagakan. Singkatnya cerita, kedua kakak beradik itu pergi ke sutau tempat sambil membawa pisau. Dan diperagakanlah cara menyembelih kurban itu hingga adiknya tewas.

Apa yang bisa dipetik dari kisah tersebut. Yaitu, kita harus arif dalam mengerjakan sesuatu, meskipun yang kita kerjakan itu kebaikan. Mengapa? Ketika masih kanak-kanak banyak hal yang dilihat oleh anak tapi belum dipahami sepenuhnya makna sebuah tindakan. Jadi, kalau tidak hati-hati, tindakan yang baik tapi ketika ditiru anak-anaknya justru perbuatan yang membahayakan kehidupan.

Apa yang dipaparkan tersebut hanyalah salah satu saja dari perbuatan baik tapi berbahaya bagi kehidupan. Tentu, masih banyak lagi. Pernahkah kita mendengar dua anak kecil yang berlainan jenis sedang main kawin-kawinan? Ini bukan sekadar lagu, tapi benar-benar praktik kawin pada anak yang masih kelas 2 SD (yang umurnya baru 7-8 th). Hal semacam ini terjadi karena kecerobohan orangtua.

Makanya, dulu makrifat itu tidak boleh diajarkan kepada anak kecil atau yang akal-pikirannya belum bisa mengendapkan makna sebuah kejadian. Makrifat juga tidak diajarkan kepada mereka yang gelora emosinya masih tinggi. Ini dimaksudkan untruk menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Selanjutnya, nafs al-mulhamah. Untuk menjadi muslim di tahap ini kita harus menerangkan kepada anak-anak tentang "apa dan mengapa". Jika anak-anak yang masih memerankan nafs al-lawwamah itu menyerap apa saja yang ditangkap oleh indranya, tidak demikian bagi mereka yang sudah bangkit nafs al-lawwamahnya. Mereka secara alami akan mempertanyakan makna peristiwa dan kejadian di sekelilingnya. Maknya, kita yang tua-tua ini hendaknya tidak melakukan atau memberikan jawaban hanya sekadar untuk pemanis bibir. Kita harus jujur. Dan kejujuran sebenarnya merupakan bentuk kemusliman. Ya, sebenarnya orang yang jujur itu merupakan wujud kepasrahan diri kepada Tuhan. Makanya, kita harus belajar mengatakan "tidak" atau "ya" dengan benar, bukan sebagai pelipur lara.

 

Keempat, sudah tumbuh nafs al-muthmainah. Pada saat ini gejolak emosi mulai stabil. Gelora darah muda berjalan tenang. Fase "apa dan mengapa" sudah dilampaui, maka ia mulai memikirkan bagaimana hidup yang benar. Pada tahap inilah seseorang disebut memasuki umur 40, yaitu memasuki wilayah tobat untuk menjadi muslim. Coba, perhatikan kembali ayat di atas. Kata "doa" tidak berarti sekadar mengucapkan kata-kata sebagai permohonan. Doa juga berupa perbuatan!

 “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk menyukuri kenikmatan yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orangtuaku, dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridoi. Berilah kebaikan (kedamaian) dalam hidupku dan kepada keturunanku."

Pada tahap kehidupan mutmainah seseorang mulai merenungkan dirinya, dan mulai memikirkan bagaimana berbuat yang benar dan pener. Yaitu, perbuatan yang benar dan dilakukan pada saat waktu dan tempat yang tepat. Dalam ayat tersebut dinyatakan dengan permohonan untuk diberi petunjuk agar ia mampu menyukuri kenikmatan yang dianuge-rahkan oleh Tuhan kepadanya.

Menyukuri kenikmatan ternyata bukan hanya yang diberikan kepada dirinya, tapi juga kepada kedua orangtuanya. Juga mohon dianugerahi kebaikan, baik untuk dirinya maupun untuk keturunannya. Ada proses yang harus dikerjakan secara fisik, pemikiran, dan spiritual. Masing-masing sifat terpuji yang telah kita bahas sebenarnya mulai diterapkan pada fase kehidupan sebagai seorang muslim. Memang, proporsinya mungkin masih kecil, tapi jika tidak dimulai dari yang kecil kita tak akan sanggup melakukan sekaligus apa yang disebut perbuatan terpuji itu.

Ingat, kata "menyukuri" tidak sama dengan mengucapkan kata "terima kasih". Maka, pada ayat tersebut sang hamba memohon "petunjuk untuk menyukuri anugerah". Jadi, ada petunjuk untuk bersyukur. Jika itu berupa anugerah kesehatan, maka cara untuk menjaga kesehatan itu merupakan cara bersyukur. Bila ada anugerah kekayaan, maka cara memanfaatkan kekayaan bagi sebesar-besar kemakmuran keluarga dan lingkungan-nya merupakan cara bersyukur.

Lalu, apakah berdoa agar ditunjuki cara bersyukur itu cukup diungkapkan dengan doa? Tentu saja, tidak! Harus ada proses belajar dalam hidup ini. Ya, belajar memelihara kesehatan, belajar mengatur keharmonisan rumahtangga, belajar untuk mendidik anak agar dicucuri anugerah "islah" atau kehidupan yang damai, dan lain sebagainya. Jika, semua yang kita lakukan itu wujud dari kepasrahan yang dituangkan dalam wujud usaha, maka sebenarnya kita telah mengawali kehidupan sebagai seorang muslim dari sudut makrifat. Dan, sudah pasti upaya ini benar dari tinjauan syariat!

Untuk itu marilah kita simak kembali QS 2:133.

Sumber : www.seerambi.co.id
10/26/2013 07:23:44 am

Good job

Reply



Leave a Reply.


spiritual books religi